Sabtu, 14 Mei 2016

Musafir - Kisah Tentang Dia yang Bukan Manusia

Mereka bilang bumi ini akan hancur....
ditelan oleh keserakahan manusia, dan dihancurkan oleh perilaku manusia. Orang-orang tua melihat masa depan itu dengan kelam, seakan ada kabut menutupi mata mereka.

Anak-anak muda yang bermain riang, mereka lihat sebagai pewaris keputus-asaan, terbayang di wajah orang-orang tua itu masa depan mereka yang dipenuhi oleh gersangnya gurun pasir, panasnya matahari, keruhnya air, serta dinginnya badai.

Orang-orang tua memeluk anak-anak mereka, "Kasihan... oh, kasihan..." pekik orang-orang itu, meratapi bagaimana menderitanya mereka saat itu.

***

Langit gelap, hujan, dan tangisan, mewarnai akhir milenia 2000.

Pada akhir milenia ini, dunia mengalami krisis bahan bakar luar biasa

Minyak yang terus digunakan sebagai pelumas penggerak kehidupan telah habis, dan negara-negara tidak siap untuk menerapkan sumber tenaga alternatif. Roda perekonomian berhenti, masyarakat semakin ketakutan ketika melihat sumber pangan mereka hampir habis.

Tidak butuh waktu lama hingga munculnya tindakan-tindakan kasar dari orang-orang yang berusaha mencari makanan, sudah menjadi pemandangan biasa apabila terjadi penjarahan toko, ataupun perkelahian di trotoar antara dua orang yang memperebutkan makanan.

2890, adalah permulaan masa-masa kelam tersebut.

***

Sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun kemudian...

Usaha-usaha untuk menyuburkan kembali tanah, dan membangun ulang peradaban, seolah-seolah ditentang oleh Bumi itu sendiri. Tidak ada padi, rumput, ataupun pohon yang dapat tumbuh sehat, sekalipun ada, buah yang dihasilkan tak akan cukup untuk memenuhi perut orang-orang yang kelaparan.

Terkadang, perebutan akan makanan kembali terjadi, hal ini juga yang membuat keadaan semakin buruk.

Seakan belum selesai, muncul efek rantai dari masalah tersebut, turunnya angka kesuburan, yang menyebabkan makin sedikitnya bayi yang lahir.

Bumi seakan ingin manusia punah...

"Mungkin inilah hukuman atas dosa-dosa kami," ucap seorang dari masa tua.

"Inilah akibat yang kami terima dari mengecewakan Ibu Bumi," katanya lagi.

"Ini adalah sebuah harga yang Ibu Bumi inginkan..."

"Kepunahan."

***

Seratus tahun telah berlalu, milenia dua ribu dalam tahun manusia secara resmi pula berakhir.

Hilangnya peradaban manusia dari muka Bumi tidak serta merta melenyapkan jejak-jejak mereka. Sedikit demi sedikit, Ibu Bumi kembali mengambil alih wajah dunia. Kota-kota tempat manusia dulu berada, sedikit demi sedikit disikat oleh kekuatan alam.

Daratan menjadi laut, dan laut menjadi daratan.

Makhluk-makhluk yang dulu hidup dalam perbudakan manusia semakin berkembang dan kembali mewarnai kehidupan di Bumi, tenang tanpa gangguan tangan manusia.

Bumi kembali pada awal mulanya, sebagai taman Eden.

***

Sebuah Kisah Tentang Dia yang Bukan Manusia
Aku tidak pernah tahu dari mana aku berasal
Tidak, bahkan aku tidak tahu aku terbuat dari apa
Ketika aku terbangun, ketika aku membuka mataku 
Aku melihat Ibu. Ibu Bumi
Berselimut cahaya, ia duduk diatas tahta pohon yang besar
Kunang-kunang menari-nari di sekitarnya
Seekor macan besar tidur tenang disamping kakinya
Elang bertengger di salah satu lengan tahtanya

Ibu menatap mataku lekat
Aku juga menatapnya balik
Kurasakan sebuah kehangatan yang terasa baru
Saat itu, aku mengerti bahwa itulah kehangatan 'cinta'

Ia menunjuk ke arahku
Dengan jarinya yang lentik dan indah
Ia menamaiku

"Adam"

***
Bumi
3000 Masehi kalender manusia

Adam sekali lagi menapaki kakinya di jalan berbatu yang basah, ia mengambil ancang-ancang lagi, dan melompati diri ke batu berikutnya. Cahaya matahari terik memancar, memberi kesempatan bagi para teman-teman tumbuhan untuk berfotosintesis.

Lelaki itu mengadah ke atas, kedua tangannya direntangkan lebar, dan ia merasakan hangatnya matahari.

Adam, walaupun namanya sangat manusiawi, ia bukan manusia

Kau bisa melihat lewat wujudnya, ketika dia merentangkan kedua tangannya menghadap matahari, muncul selaput-selaput yang terkelupas dari badan kulitnya. Selaput-selaput tersebut berisi klorofil untuknya melakukan fotosintesis.

Benar, Adam bukan manusia, ia adalah tumbuhan.

Sebuah tumbuhan yang amat manusiawi, ia bisa berpikir, berlari, mengenggam, bernyanyi, mengendus, mendengar, serta meraba. Dalam ilmu pengetahuan manusia, para ilmuwan pasti akan terkejut melihatnya, apalagi fakta bahwa Adam muncul hanya dalam tempo seratus tahun setelah keruntuhan peradaban manusia, ini adalah sebuah anomali.

Tidak, bukan anomali

Ini adalah keajaiban.

***

Adam lahir dari sebuah bibit raksasa, tidak dapat dijelaskan pohon apa yang dapat menghasilkan bibit sebesar minibus, faktanya, hampir tidak ada pohon normal yang dapat menghasilkan bibit sebesar itu.

Adam dapat melihat sejak pertama kali keluar dari bibit, bersamaan, dengan itu, indra-indranya mulai aktif, indra pendengaran, peraba, dan penciumnya sedikit-demi sedikit mulai menyesuaikan dengan perkembangan Adam, dalam 3 hari, dia sudah dapat berlari, melompat, serta memanjat.

Sebuah spesies asing yang tiba-tiba muncul di muka Bumi, Adam tidak mengetahui tujuannya. Apa yang mendorongnya untuk terus bergerak selama ini hanya satu, yaitu insting.

Adam tidak butuh berburu, ia tidak butuh mengumpulkan makanan seperti rumput atau buah, ia hanya perlu berdiri di tengah-tengah tanah lapang, bermandikan cahaya matahari.

Begitu pula dengan reproduksi.

Kenyataan bahwa Adam adalah satu-satunya spesies Manusia-Tumbuhan menumbuhkan pertanyaan, apakah ia butuh reproduksi seksual? atau apakah ia dapat melakukan reproduksi aseksual?

Apakah Adam bahkan peduli akan pertanyaan-pertanyaan itu?

Tidak ada yang tahu.

Spesies itu, Manusia-Tumbuhan itu, hanya berjalan, berjalan dan berjalan, entah apakah ia memiliki suatu tujuan, khusus, atau hanya itulah takdirnya sebagai satu-satunya spesies yang menyerupai manusia di muka bumi ini.

Apakah ia akan mengikuti jejak manusia, dan mendirikan sebuah peradaban manusia-tumbuhan?

Ataukah ia memiliki sebuah tujuan lain?

Adakah sebuah takdir besar yang menunggunya di ujung jalan sana?



*******************************************************
Java Kitchen
Tangerang, 14 Mei 2016