Minggu, 15 Februari 2015

Angkringan Pak Karno

Di pinggir kota Jogja yang sepi tanpa bunyi apapun, ada satu angkringan yang masih buka. Gerobak angkrigan itu mendirikan tenda di sampingnya, serta menggelar karpet terpal yang seperti biasa digunakan orang untuk makan.

Tidak ada bunyi bising kendaraan atau cengkrama orang-orang yang berlalu-lalang, suasana sepi, seakan hanya aku manusia yang masih hidup bersama pak tua yang penjual makanan angkringan tersebut.

Aku dan teman-temanku biasa memanggil dia Pak Karno, sudah lama dia makan asam garam hidup, kulitnya coklat keriput serta rambutnya yang sudah beruban semuanya. Pak Karno memakai baju batik, celana panjang katun, sandal jepit, serta kopiah yang selalu dia pakai, agaknya dia selalu memakai kopiahnya selama bertahun-tahun karena kopiah itu terlihat lusuh.

 Selalu ada yang istimewa dari masakan Pak Karno, nasi kucing yang selalu dia hidangkan, entah bagaimana terasa hangat dan enak, sate ayam, sate telur, ataupun sate ati ampela yang dihidangkannya juga memiliki rasa yang khas, sehingga aku dan teman-temanku sangat betah datang ke angkringan milik pak Karno.

Malam ini… ah entah sudah pukul berapa malam ini, tetapi aku masih betah duduk lesehan sambil menikmati kopi arang yang juga menjadi favoritku setiap makan di angkringan Pak Karno.

“Bagaimana dik? Enak makanannya?” Pak Karno tiba-tiba menyapaku, oh, rupanya dia sudah selesai menata dan memasak dagangannya.

“Wah pasti dong! Nasi kucing Pak Karno nomor satu di jogja!” aku menjawabnya dengan penuh semangat, aku tidak bohong kalau mau bilang angkringan Pak Karno itu nomor satu, tetapi dari angkringan-angkringan yang sudah kujelajahi di sekitar penjuru Jogja, memang hanya Pak Karno yang memiliki bumbu rahasia terbaik dalam menyajikan makanan sederhana menjadi amat lezat.

“He he… bukannya gara-gara nasi bapak murah ya? Kamu kalau datang pasti habisin dua sampai 5 bungkus!” Pak Karno tertawa mendengar jawabanku, gigi taringnya yang ompong terlihat dari balik mulutnya yang tertawa.

Hening seusai tertawa, aku menatap jalan yang tidak dilalui satu jiwa pun. Heran, biasanya anak-anak muda pasti masih akan main-main bahkan sampai fajar menyingsing, tetapi mengapa keadaan sepi sekali?

“Pak, kok tumben ya, malam-malam begini sepi?”

Aku bertanya pada Pak Karno, ia nampak sedang melihat ke kejauhan jalan, matanya yang sesekali berkedip seperti menandakan sebuah permasalah yang ia pikirkan jauh di lubuk hatinya.
Setelah aku coba memikirkan sendiri, aku jadi ingat bahwa Pak Karno pernah bercerita bahwa dia tidak memiliki sanak saudara, dia bercerita bahwa istrinya sudah lama meninggal, dan anaknya juga entah dimana.

Pak Karno yang sendirian melanjutkan hidup dengan berjualan angkringan, tetapi dia berkata bahwa dia tidak merasa sedih atau terbebani, alih-alih, berjualan angkringan pada malam hari adalah saat dimana dia bisa banyak tertawa, mengobrol bersama pelanggan-pelanggannya, dalam tenda angkringan Pak Karno, kami merasa seperti sebuah keluarga, entah itu anak kuliahan, kuli bangunan, tukang ojek, guru, dosen, dibawah tenda Pak Karno, kami tertawa lepas tanpa memikirkan latar belakang masing-masing orang.

“Pak Karno?” aku mencoba memanggil namanya sekali, baru kali ini ia menoleh padaku, dia yang awalnya terkejut kemudian menoleh padaku dan kembali memasang senyum.

“Pak Karno ada masalah? Mending cerita pak, biar saya dan teman-teman saya bisa bantu bapak!” kucoba menawarkannya bantuan, tetapi dia hanya menggeleng lemah sambil tetap memasang senyum itu di wajahnya.

Muncul berbagai pertanyaan di kepalaku, apa gerangan yang terjadi dengannya? Apakah ada masalah dengan dagangannya? Aku yang hendak mendesaknya untuk berbicara lebih akhirnya mengurungkan niat, dia berdiri, kemudian memandang bintang-bintang di langit dengan matanya yang lembut.

Ada suatu hal yang mengusik perasaanku, namun entah apa hal itu… aku membuka mulutku dan bertanya satu pertanyaan yang terlintas di benakku.

“Kenapa malam ini sepi sekali pak?”


 Aku ikut memandang ke kejauhan mengikuti arah mata Pak Karno. Mata kami melewati kegelapan sawah jauh di hadapan kami hingga kami melihat suatu titik cahaya.

“Lho pak? Itu… Itu bukanya Kirana pak?” tanyaku.

Dibalik cahaya yang pudar itu, sesosok gadis yang cantik wajahnya dan molek tubuhnya tersungkur di tanah, ia menundukan wajahnya, menangis tersendu-sendu. Kirana berarti cahaya, dan itu menunjukan pada kecantikan, tetapi saat ini cahaya itu redup.

“Lihat, itu,” Pak Karno menunjuk sosok Kirana yang menangis tersendu-sendu. “Kakandanya mati.” Pak Karno berkata seakan ia ikut berbela sungkawa atas Kirana, aku yang hanya bisa merasakan empati pak Karno luluh dalam kesedihan yang melanda Kirana.

“Kenapa Kakandanya mati?” tanyaku pada Pak Karno

Pak Karno tidak menjawab, alih-alih ia kembali tersenyum, tetes-tetes air mata mengalir di pipinya ia mulai tersendu-sendat dan kemudian, tangisnya meledak.

Aku tidak pernah melihat Pak Karno menangis, tidak dalam 3 tahun sejak aku rajin mengunjungi angkringannya tiap hari, Pak Karno selalu nampak sebagai sosok yang menebar senyum, dan bagiku, ia sudah seperti guru serta orang tuaku sendiri.

Ketika aku memandangnya lagi di kejauhan, Kirana sudah terkulai lesu, sinar redupnya perlahan makin sekarat.

Tangis Pak Karno makin menjadi-jadi, hingga pada detik cahaya itu padam, tangis Pak Karno mencapai puncaknya.

Dunia seakan ikut kehilangan cahayanya lampu jalanan yang sedari tadi menyala tiba-tiba pecah satu persatu.

Ketika kusadari, aku sudah tenggelam dalam kegelapan.

Meninggalkan Pak Karno yang menangis, dan Kirana yang telah mati.