Di pinggir kota Jogja yang sepi tanpa
bunyi apapun, ada satu angkringan yang masih buka. Gerobak angkrigan itu
mendirikan tenda di sampingnya, serta menggelar karpet terpal yang seperti
biasa digunakan orang untuk makan.
Tidak ada bunyi bising kendaraan atau
cengkrama orang-orang yang berlalu-lalang, suasana sepi, seakan hanya aku
manusia yang masih hidup bersama pak tua yang penjual makanan angkringan
tersebut.
Aku dan teman-temanku biasa memanggil
dia Pak Karno, sudah lama dia makan asam garam hidup, kulitnya coklat keriput
serta rambutnya yang sudah beruban semuanya. Pak Karno memakai baju batik,
celana panjang katun, sandal jepit, serta kopiah yang selalu dia pakai, agaknya
dia selalu memakai kopiahnya selama bertahun-tahun karena kopiah itu terlihat lusuh.
Selalu ada yang istimewa dari masakan Pak
Karno, nasi kucing yang selalu dia hidangkan, entah bagaimana terasa hangat dan
enak, sate ayam, sate telur, ataupun sate ati ampela yang dihidangkannya juga
memiliki rasa yang khas, sehingga aku dan teman-temanku sangat betah datang ke
angkringan milik pak Karno.
Malam ini… ah entah sudah pukul berapa
malam ini, tetapi aku masih betah duduk lesehan sambil menikmati kopi arang
yang juga menjadi favoritku setiap makan di angkringan Pak Karno.
“Bagaimana dik? Enak makanannya?” Pak
Karno tiba-tiba menyapaku, oh, rupanya dia sudah selesai menata dan memasak
dagangannya.
“Wah pasti dong! Nasi kucing Pak Karno
nomor satu di jogja!” aku menjawabnya dengan penuh semangat, aku tidak bohong
kalau mau bilang angkringan Pak Karno itu nomor satu, tetapi dari
angkringan-angkringan yang sudah kujelajahi di sekitar penjuru Jogja, memang
hanya Pak Karno yang memiliki bumbu rahasia terbaik dalam menyajikan makanan
sederhana menjadi amat lezat.
“He he… bukannya gara-gara nasi bapak
murah ya? Kamu kalau datang pasti habisin dua sampai 5 bungkus!” Pak Karno
tertawa mendengar jawabanku, gigi taringnya yang ompong terlihat dari balik
mulutnya yang tertawa.
Hening seusai tertawa, aku menatap
jalan yang tidak dilalui satu jiwa pun. Heran, biasanya anak-anak muda pasti
masih akan main-main bahkan sampai fajar menyingsing, tetapi mengapa keadaan
sepi sekali?
“Pak, kok tumben ya, malam-malam
begini sepi?”
Aku bertanya pada Pak Karno, ia nampak
sedang melihat ke kejauhan jalan, matanya yang sesekali berkedip seperti
menandakan sebuah permasalah yang ia pikirkan jauh di lubuk hatinya.
Setelah aku coba memikirkan sendiri,
aku jadi ingat bahwa Pak Karno pernah bercerita bahwa dia tidak memiliki sanak
saudara, dia bercerita bahwa istrinya sudah lama meninggal, dan anaknya juga
entah dimana.
Pak Karno yang sendirian melanjutkan
hidup dengan berjualan angkringan, tetapi dia berkata bahwa dia tidak merasa
sedih atau terbebani, alih-alih, berjualan angkringan pada malam hari adalah
saat dimana dia bisa banyak tertawa, mengobrol bersama pelanggan-pelanggannya,
dalam tenda angkringan Pak Karno, kami merasa seperti sebuah keluarga, entah
itu anak kuliahan, kuli bangunan, tukang ojek, guru, dosen, dibawah tenda Pak
Karno, kami tertawa lepas tanpa memikirkan latar belakang masing-masing orang.
“Pak Karno?” aku mencoba memanggil
namanya sekali, baru kali ini ia menoleh padaku, dia yang awalnya terkejut
kemudian menoleh padaku dan kembali memasang senyum.
“Pak Karno ada masalah? Mending cerita
pak, biar saya dan teman-teman saya bisa bantu bapak!” kucoba menawarkannya
bantuan, tetapi dia hanya menggeleng lemah sambil tetap memasang senyum itu di
wajahnya.
Muncul berbagai pertanyaan di kepalaku,
apa gerangan yang terjadi dengannya? Apakah ada masalah dengan dagangannya? Aku
yang hendak mendesaknya untuk berbicara lebih akhirnya mengurungkan niat, dia
berdiri, kemudian memandang bintang-bintang di langit dengan matanya yang
lembut.
Ada suatu hal yang mengusik
perasaanku, namun entah apa hal itu… aku membuka mulutku dan bertanya satu
pertanyaan yang terlintas di benakku.
“Kenapa malam ini sepi sekali pak?”
Aku ikut memandang ke kejauhan mengikuti arah
mata Pak Karno. Mata kami melewati kegelapan sawah jauh di hadapan kami hingga
kami melihat suatu titik cahaya.
“Lho pak? Itu… Itu bukanya Kirana
pak?” tanyaku.
Dibalik cahaya yang pudar itu, sesosok
gadis yang cantik wajahnya dan molek tubuhnya tersungkur di tanah, ia
menundukan wajahnya, menangis tersendu-sendu. Kirana berarti cahaya, dan itu
menunjukan pada kecantikan, tetapi saat ini cahaya itu redup.
“Lihat, itu,” Pak Karno menunjuk sosok
Kirana yang menangis tersendu-sendu. “Kakandanya mati.” Pak Karno berkata
seakan ia ikut berbela sungkawa atas Kirana, aku yang hanya bisa merasakan
empati pak Karno luluh dalam kesedihan yang melanda Kirana.
“Kenapa Kakandanya mati?” tanyaku pada
Pak Karno
Pak Karno tidak menjawab, alih-alih ia
kembali tersenyum, tetes-tetes air mata mengalir di pipinya ia mulai
tersendu-sendat dan kemudian, tangisnya meledak.
Aku tidak pernah melihat Pak Karno
menangis, tidak dalam 3 tahun sejak aku rajin mengunjungi angkringannya tiap
hari, Pak Karno selalu nampak sebagai sosok yang menebar senyum, dan bagiku, ia
sudah seperti guru serta orang tuaku sendiri.
Ketika aku memandangnya lagi di
kejauhan, Kirana sudah terkulai lesu, sinar redupnya perlahan makin sekarat.
Tangis Pak Karno makin menjadi-jadi,
hingga pada detik cahaya itu padam, tangis Pak Karno mencapai puncaknya.
Dunia seakan ikut kehilangan cahayanya
lampu jalanan yang sedari tadi menyala tiba-tiba pecah satu persatu.
Ketika kusadari, aku sudah tenggelam
dalam kegelapan.
Meninggalkan Pak Karno yang menangis,
dan Kirana yang telah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar