Kamis, 21 Juli 2016

Jejak di Kaki Langit

Ini adalah hari lain lagi dimana langit berganti, dimana matahari seakan tenggelam, dan kegelapan malam datang. Aku bisa membayangkan merah membara cahaya surya pada detik-detik hilangnya dia, menjadi simbol berakhirnya aktivitas manusia, saatnya untuk kembali dan istirahat.

Setiap hari kehidupan manusia berjalan secara statis. Menuruti apa yang disebut oleh orang-orang sebagai rutinitas.
entah itu secara literal, atau iliteral...
rutinitas manusia hampir setiap hari seakan berwujud sebuah sandiwara, kebohongan-kebohongan agar dirinya diterima, manipulai-manipulasi untuk menghimpun kekuatan, fitnah-fitnah untuk memojokan.

Ah, betapa dunia ideal yang penuh dengan persatuan itu terasa jauh di mataku.
Semakin h ari, aku semakin ragu apa manusia bisa berdiri di tahap selanjutnya
menjejaki evolusi selanjutnya dari kehidupan, dimana mereka sadar bahwa mereka hanya bagian dari alam semesta.
Bukan mencecokan diri soal tuhan siapa yang paling kuat, ideologi apa yang paling benar, spesies apa yang paling kuat

Haaah, kalau seperti ini, perang hanya tinggal menunggu waktu.

Manusia dengan akal mereka yang sudah di ujung tembok,
apabila mereka akan menghancurkan diri mereka masing-masing, biarkan saja.
Toh itu kaidah seleksi alam yang sebenarnya...

Sekali lagi, hari telah berakhir
satu lagi jejak di kaki langit telah kita langkahi
sampai mana batas langkah ini akan membawa kita?

Sabtu, 14 Mei 2016

Musafir - Kisah Tentang Dia yang Bukan Manusia

Mereka bilang bumi ini akan hancur....
ditelan oleh keserakahan manusia, dan dihancurkan oleh perilaku manusia. Orang-orang tua melihat masa depan itu dengan kelam, seakan ada kabut menutupi mata mereka.

Anak-anak muda yang bermain riang, mereka lihat sebagai pewaris keputus-asaan, terbayang di wajah orang-orang tua itu masa depan mereka yang dipenuhi oleh gersangnya gurun pasir, panasnya matahari, keruhnya air, serta dinginnya badai.

Orang-orang tua memeluk anak-anak mereka, "Kasihan... oh, kasihan..." pekik orang-orang itu, meratapi bagaimana menderitanya mereka saat itu.

***

Langit gelap, hujan, dan tangisan, mewarnai akhir milenia 2000.

Pada akhir milenia ini, dunia mengalami krisis bahan bakar luar biasa

Minyak yang terus digunakan sebagai pelumas penggerak kehidupan telah habis, dan negara-negara tidak siap untuk menerapkan sumber tenaga alternatif. Roda perekonomian berhenti, masyarakat semakin ketakutan ketika melihat sumber pangan mereka hampir habis.

Tidak butuh waktu lama hingga munculnya tindakan-tindakan kasar dari orang-orang yang berusaha mencari makanan, sudah menjadi pemandangan biasa apabila terjadi penjarahan toko, ataupun perkelahian di trotoar antara dua orang yang memperebutkan makanan.

2890, adalah permulaan masa-masa kelam tersebut.

***

Sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun kemudian...

Usaha-usaha untuk menyuburkan kembali tanah, dan membangun ulang peradaban, seolah-seolah ditentang oleh Bumi itu sendiri. Tidak ada padi, rumput, ataupun pohon yang dapat tumbuh sehat, sekalipun ada, buah yang dihasilkan tak akan cukup untuk memenuhi perut orang-orang yang kelaparan.

Terkadang, perebutan akan makanan kembali terjadi, hal ini juga yang membuat keadaan semakin buruk.

Seakan belum selesai, muncul efek rantai dari masalah tersebut, turunnya angka kesuburan, yang menyebabkan makin sedikitnya bayi yang lahir.

Bumi seakan ingin manusia punah...

"Mungkin inilah hukuman atas dosa-dosa kami," ucap seorang dari masa tua.

"Inilah akibat yang kami terima dari mengecewakan Ibu Bumi," katanya lagi.

"Ini adalah sebuah harga yang Ibu Bumi inginkan..."

"Kepunahan."

***

Seratus tahun telah berlalu, milenia dua ribu dalam tahun manusia secara resmi pula berakhir.

Hilangnya peradaban manusia dari muka Bumi tidak serta merta melenyapkan jejak-jejak mereka. Sedikit demi sedikit, Ibu Bumi kembali mengambil alih wajah dunia. Kota-kota tempat manusia dulu berada, sedikit demi sedikit disikat oleh kekuatan alam.

Daratan menjadi laut, dan laut menjadi daratan.

Makhluk-makhluk yang dulu hidup dalam perbudakan manusia semakin berkembang dan kembali mewarnai kehidupan di Bumi, tenang tanpa gangguan tangan manusia.

Bumi kembali pada awal mulanya, sebagai taman Eden.

***

Sebuah Kisah Tentang Dia yang Bukan Manusia
Aku tidak pernah tahu dari mana aku berasal
Tidak, bahkan aku tidak tahu aku terbuat dari apa
Ketika aku terbangun, ketika aku membuka mataku 
Aku melihat Ibu. Ibu Bumi
Berselimut cahaya, ia duduk diatas tahta pohon yang besar
Kunang-kunang menari-nari di sekitarnya
Seekor macan besar tidur tenang disamping kakinya
Elang bertengger di salah satu lengan tahtanya

Ibu menatap mataku lekat
Aku juga menatapnya balik
Kurasakan sebuah kehangatan yang terasa baru
Saat itu, aku mengerti bahwa itulah kehangatan 'cinta'

Ia menunjuk ke arahku
Dengan jarinya yang lentik dan indah
Ia menamaiku

"Adam"

***
Bumi
3000 Masehi kalender manusia

Adam sekali lagi menapaki kakinya di jalan berbatu yang basah, ia mengambil ancang-ancang lagi, dan melompati diri ke batu berikutnya. Cahaya matahari terik memancar, memberi kesempatan bagi para teman-teman tumbuhan untuk berfotosintesis.

Lelaki itu mengadah ke atas, kedua tangannya direntangkan lebar, dan ia merasakan hangatnya matahari.

Adam, walaupun namanya sangat manusiawi, ia bukan manusia

Kau bisa melihat lewat wujudnya, ketika dia merentangkan kedua tangannya menghadap matahari, muncul selaput-selaput yang terkelupas dari badan kulitnya. Selaput-selaput tersebut berisi klorofil untuknya melakukan fotosintesis.

Benar, Adam bukan manusia, ia adalah tumbuhan.

Sebuah tumbuhan yang amat manusiawi, ia bisa berpikir, berlari, mengenggam, bernyanyi, mengendus, mendengar, serta meraba. Dalam ilmu pengetahuan manusia, para ilmuwan pasti akan terkejut melihatnya, apalagi fakta bahwa Adam muncul hanya dalam tempo seratus tahun setelah keruntuhan peradaban manusia, ini adalah sebuah anomali.

Tidak, bukan anomali

Ini adalah keajaiban.

***

Adam lahir dari sebuah bibit raksasa, tidak dapat dijelaskan pohon apa yang dapat menghasilkan bibit sebesar minibus, faktanya, hampir tidak ada pohon normal yang dapat menghasilkan bibit sebesar itu.

Adam dapat melihat sejak pertama kali keluar dari bibit, bersamaan, dengan itu, indra-indranya mulai aktif, indra pendengaran, peraba, dan penciumnya sedikit-demi sedikit mulai menyesuaikan dengan perkembangan Adam, dalam 3 hari, dia sudah dapat berlari, melompat, serta memanjat.

Sebuah spesies asing yang tiba-tiba muncul di muka Bumi, Adam tidak mengetahui tujuannya. Apa yang mendorongnya untuk terus bergerak selama ini hanya satu, yaitu insting.

Adam tidak butuh berburu, ia tidak butuh mengumpulkan makanan seperti rumput atau buah, ia hanya perlu berdiri di tengah-tengah tanah lapang, bermandikan cahaya matahari.

Begitu pula dengan reproduksi.

Kenyataan bahwa Adam adalah satu-satunya spesies Manusia-Tumbuhan menumbuhkan pertanyaan, apakah ia butuh reproduksi seksual? atau apakah ia dapat melakukan reproduksi aseksual?

Apakah Adam bahkan peduli akan pertanyaan-pertanyaan itu?

Tidak ada yang tahu.

Spesies itu, Manusia-Tumbuhan itu, hanya berjalan, berjalan dan berjalan, entah apakah ia memiliki suatu tujuan, khusus, atau hanya itulah takdirnya sebagai satu-satunya spesies yang menyerupai manusia di muka bumi ini.

Apakah ia akan mengikuti jejak manusia, dan mendirikan sebuah peradaban manusia-tumbuhan?

Ataukah ia memiliki sebuah tujuan lain?

Adakah sebuah takdir besar yang menunggunya di ujung jalan sana?



*******************************************************
Java Kitchen
Tangerang, 14 Mei 2016

Rabu, 09 Maret 2016

Manusia dan Idealisme

Ketika anak manusia dihadapkan dalam kenyataan
Ketika realita pada akhirnya mencabut nyawa manusia
Manusia yang sama seperti kita, manusia yang sama seperti kau dan aku
Ketika cita-cita, pada akhirnya hanya berakhir sebagai cita-cita
Apakah engkau menerima kenyataan seperti itu? apakah kau menerima dunia seperti itu?

Kita, anak-anak yang terdidik oleh orang tua kita
Doktrin apa yang telah kau pelajari?
Kenyataan apa yang telah kau bentuk dari ajaran mereka?
dan ketika kau sadar, kenyataan-kenyataan lain di luar sana
Masihkah engkau berpegang pada kenyataan yang kau percayai selama ini?

Manusia yang telah diatur
Manusia yang telah dibentuk oleh lingkungan
Sehingga menjadi sosialita yang kita kenal saat ini

Aku mencemooh mereka
Aku mencemooh realita
Aku mencemooh sosialita
Tapi pada akhirnya, aku juga dibentuk oleh mereka

Idealisme yang kupegang
Idealisme yang kutanam
Sebuah tiang tanpa penyangga di tanah penuh keabstrakan
Ditanam di otak, maupun ditanam di jiwa

Memimpin manusia melalui jaman

Apa yang akan dibentuk nanti, apa yang akan kau perjuangkan nanti

Apakah akan damai? ataukah diwarnai cipratan darah?

Ah, anak manusia..

Engkau dan idealismemu, tak akan bisa dipisahkan

Halalkah darah di pedangmu untuk idealisme itu?

Senin, 29 Februari 2016

Kereta di Tengah Hutan

Apabila kau merasa bosan

Coba pergi ke hutan belakang sekolah

Masuklah dari arah mana saja

Jalanlah lurus, tidak boleh berbelok

Kemudian, mulai dari langkah memasuki hutan, hitung hingga langkah ke seratus lima puluh

Ketika sudah langkah ke seratus lima puluh, teriakan jalur jurusan suatu kereta

Teriakan dengan lantang dan keras, selama tiga kali

Setelah itu, kau akan melihat sebuah gerbong kereta di tengah hutan. Kereta tanpa rel, kereta tanpa stasiun.


Itu adalah penggalan puisi yang amat terkenal di kampung halamanku, Mitos tentang kereta berhantu, atau kereta misterius yang hanya muncul bila dilakukan semacam ritual.
Ada banyak versi cerita yang kadang melengkapinya, terkadang, seseorang temanku bercerita bahwa kereta tersebut akan membawamu ke alam lain, atau versi bahwa kereta tersebut dihuni oleh monster kelaparan yang akan melahapmu begitu ia melihat.

Nyatanya, cerita ini tidak hanya terkenal di kalangan anak-anak, orang-orang dewasa pun ternyata sudah mengenal cerita tersebut sejak mereka kecil

Seperti layaknya, sebuah warisan budaya, tidak ada orang lama di pulau ini yang tidak mengenal kisah tersebut, Kereta Misterius di Tengah Hutan.

Aku, adalah seorang anak yang ingin tahu.

Meskipun pendiam, mataku suka melirik ke segala arah

Menerka-nerka asal-usul suatu barang.

Sebagai anak yang juga tumbuh dalam lingkungan pulau tersebut, aku sudah kenyang dengan puisi yang terus diceritakan orang-orang.
Beberapa mengatakannya hantu kereta peninggalan penjajah, beberapa lagi mengatakan penampakan roh halus.

Hari demi hari, aku semakin penasaran.


Hingga akhirnya tiba suatu hari... Hari yang buruk, sebenarnya.

Umurku 13 tahun, dan aku dimarahi ayahku oleh suatu alasan.
Ia mengataiku pelamun yang tidak pernah bergerak, kerjanya hanya diam di depan halaman, anak yang tidak berguna.

Itu kata-kata yang cukup sakit bagiku.

Hari itu, matahari tanpa ampun bercahaya.
Sinarnya menusuk-nusuk kulit tanpa ampun.

Aku yang marah terhadap ayahku minggat

Pergi ke hutan yang diceritakan.



Aneh juga...

Langit bersinar bak lampu neon dihadapkan pada kaca pembesar

Tapi kenapa hutan itu sangat rindang?

Seakan hutan itu hidup, seakan hutan itu bernafas. Sebuah hembusan nafas yang sejuk dan dipenuhi bau daun...


150 langkah....

Teriakan dengan lantang...

...

...

...


Sekilas, suara itu tredengar samar,
Kemudian terdengar lagi, dan lagi

hingga kemudian...


JESS... JESS... JESS...


Sebuah suara akrab yang kudengar dari sebuah kereta, suara rodanya yang berdecit ketika mengarungi rel, suara aneh yang terdengar seperti uap yang keluar dari pembuangan.

Dan tiba-tiba di hadapanku, Kereta itu berhenti.



Minggu, 28 Februari 2016

Tumbuh

Hidup menjadi lucu ketika kau mulai tumbuh dewasa

Ketika aku melihat masa lalu, aku bisa melihat sesosok anak penurut

Yakin bahwa semua yang kudengar adalah absolut

Yakin bahwa orang-orang yang tidak sependapat denganku akan menderita di neraka

Sementara aku akan pergi ke surga


Sedikit demi sedikit, anak kecil itupun mulai tumbuh

Dunia mengajarinya dengan cara yang menyakitkan

Dicerca, disingkirkan

Dianiaya dan dihina

Namun terkadang, dia masih merasakan kehangatan

Maupun rasa kebersamaan yang menyenangkan


Kini hidup telah membentukku

Aku melihat bagaimana dunia itu relatif

Tiada hitam dan putih

Manusia hidup dalam keabu-abuan


Selamat tinggal bocah naif

Halo pemuda yang kritis

Itu yang ingin kukatakan pada diriku saat ini.

Senin, 22 Februari 2016

Penyesalan

Aku menjalani hidupku, berjalan mengarungi waktu, belajar makna hidup, tetapi apakah yang kupelajari?

Apakah karena semua relatif, sehingga hal-hal datang dan pergi?

Ataukah kesalahanku sehingga situasi terganti?

Halo, Pujangga di hati

Masihkah engkau berkeluh diri?

***

Seutas tali tipis, diikat dengan tali tambang, dan kemudian diikat ke rantai.

Itulah yang aku lihat saat ini. Hidupku ini.

Terkadang aku penasaran, dimana diriku 5 tahun lalu?

Sesosok anak polos yang tidak memikirkan dunia, tidak memikirkan lingkungan

Kemana temanku yang erat persahabatannya itu?

Kemana aku?

***

Aku tidak menyalahkan diriku 3 tahun lalu

Diriku yang dipisahkan dari dunia imaji

Rasanya sakit bagaikan dipisahkan dari seorang kekasih

3 tahun itu, adalah hidup yang berat

Aku tahu orang-orang itu memandangku sebelah mata

Akan tetapi yang paling sakit

Mengapa sang Pujangga tak bergema lagi?

***

Kini masa-masa itu telah selesai

Kini datang tahun-tahun baru

Apa yang akan terjadi di masa depan?

Aku tidak tahu.

Aku takut.

***

Oh, masa lalu.

Entah itu 5 tahun

Entah itu 3 tahun yang lalu...

Mengapa aku merindukanmu?

Inikah yang namanya penyesalan?

***

Oh, Pujangga hati,

Bergemalah sekali lagi

Kurindukan melodimu

Yang menggugah hatiku dulu sekali

***

Bisikan padaku,

Apabila ini penyesalan.

Tunjukan padaku

DImanakah jalan keluar.