Sabtu, 18 April 2020

Mencari Keabadian

Manusia tidak ingin mati, mereka selalu mencari cara untuk menjadi abadi. Kaisar-kaisar dari Cina mengutus tabib-tabibnya untuk mencari obat keabadian, memerintahkan pasukannya untuk mengembara kilometer jauhnya, mengutus kapal-kapalnya untuk berlayar ke ujung dunia. Semua untuk memastikan agar ia masih bisa merasakan nikmatnya hidup, merasakan nikmatnya memerintah, serta berbagai alasan baik yang terhormat maupun yang terhina.

Manusia takut akan kematian, mereka takut pada apa yang tidak mereka ketahui. Apa yang akan mereka rasakan pada kematian? Sakitkah? Panaskah? Dinginkah? Apakah kematian adalah akhir penuh damai? Ataukah mereka akan terjebak dalam kegelapan selamanya, tenggelam dalam kecemasan, kesepian, dan kebosanan.

Manusiapun berpikir, karena sebenarnya seperti itulah manusia. Pertama mereka meyakinkan diri mereka, bahwa ada sesuatu yang lain setelah hidup mereka berakhir. Bahwa dari setiap akhir, ada permulaan yang baru. cosmos dan chaos, manusia mulai meyakinkan diri mereka bahwa kematian tidak dapat mereka hindari, maka mereka mulai berteman dengannya.

Manusia kembali berpikir, "Sungguh hinalah apa yang dilakukan orang tersebut. Apakah ada pengadilan yang akan menghakiminya suatu hari nanti? pengadilan apa yang begitu adil hingga ia dapat mempertimbangkan kebaikan dan keburukan seseorang?" Maka terciptalah surga dan neraka. Mereka yang baik akan dihadiahi kebahagiaan kekal, dan mereka yang jahat, hukuman abadi.

Manusia ingin masuk surga, mereka ingin meraih hadiah itu setinggi-tingginya, namun andai semua itu dilakukan secara benar, pastinya akan tercipta surga di Bumi.

Pada akhirnya mereka capai. Berlomba mengejar surga tidak menciptakan surga, neraka seakan sudah jadi situasi utama yang mereka jalani tiap hari.

Pada akhirnya mereka kembali berteman dengan kematian.

"Toh kehidupan ini hanya sekali." kata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar