Senin, 28 Juli 2014

Laut yang Berkabut

gasp

maksudnya ini suara tarikan napas tiba-tiba.
mengerti kan? maksudnya saat kau sedang tidur, kemudian kau mengalami mimpi buruk, secara tiba-tiba kau menarik napas dan terbangun dengan keringat dingin?

ya, hal itu sedang terjadi padaku saat ini.

"Oy? sudah bangun? gimana tidurmu? nyenyak?"
suara itu masih menjengkelkan, aku menegaskan kembali bahwa suara itu seperti curut yang mencicit ketika tubuhnya diinjak

"Apa pedulimu cebol?" aku meneriaki makhluk itu sekali lagi, jubah hitam yang dipakainya selalu menutupi tubuhnya yang semakin lama semakin mengecil, aku yakin pertama kali bertemu dengannya dia masih tinggi, kira-kira sama sepertiku, dia selalu memakai topeng yang mengerikan.

"Kita di laut." jawabnya

dihadapanku terbentang luas air yang tiada habisnya, akan tetapi tidak sampai di ujung cakrawala, kabut menutupi laut ini.
ini adalah laut paling suram yang pernah kulihat.

"Kita akan meninggalkan pulau ini," kata cebol itu sekali lagi padaku.
"Kita akan kembali ke Desa Cqirel, di timur laut sana. Kemudian menumpang kapal sampai ke Ibukota. Bila beruntung, mungkin kita bisa ke Kota para Elf untuk bertemu teman-teman lamamu."

dia berkata sambil terus menyiapkan bekal berupa ikan kering, rumput, serta berbotol-botol air dan memasukannya kedalam sampan.

"Memang siapa kamu?" aku meneriakinya.

"Aku sudah berjalan sampai ke pulau ini! sekarang kau mau kita kembali!?"
aku meneriakinya lagi.
terus...
dan terus kuteriaki.


Mengapa aku datang ke pulau ini?

Mengapa?...


"HEI KAU DENGAR AKU TIDAK!?"

DUAK!!

benda keras menghantam sisi kepalaku, cukup keras sampai sepertinya benda itu telah patah menjadi dua.

dengan mata yang kabur akibat pukulan dayung tersebut, aku lihat lagi si cebol itu, memegang sisa-sisa dayung dengan kedua tangannya.

"Kamu ini manusia yang bayak omong, pengecut, bebal pula ya."
"Datang kesini untuk mati. tapi sepertinya kamu terlalu menyedihkan untuk itu."
"Sana, mulai lagi perjalanannmu, kalau kau tidak berubah kali ini, akan kumangsa jiwamu."


dan dengan satu pukulan lagi, aku ambruk kedalam sampan tersebut.

Selasa, 15 Juli 2014

Perjalanan di Tanah yang Selalu Hujan

"Jadi gimana, Jiva?"

Aku mendengar sosok dihadapanku memulai pembicaraan, sembari menikmati roti keras kami di tengah padang gurun yang menitikan butiran air hujan. Nada pertanyaan itu terdengar menjengkelkan - seperti yang selalu dia lakukan.

"Kapok aku."

"Yakin kapok?"

Suara itu kembali menggema di gendang telingaku, makhluk sialan ini, tanpa sedikitpun menurunkan topeng di wajahnya, ia menyelipkan potongan-potongan roti keras lewat dagu dari bawah topengnya, sesaat kemudian terdengar suara orang mengunyah dan mengecap.

"Kau menjijikan." komentarku

"Lebih menjijikan mana dibanding orang yang menghabiskan koin emas untuk peralatan ritual tak berguna? kemana lagi koin perak yang hilang diraib penipu di kota Fargard?"
"Oh, ya, itu kau Jiva, dan sebagai tambahan, kau bukan hanya menjijikan, tapi kau juga dungu dan naif."

"Aku membencimu,"

ia terkekeh, "Memang seharusnya begitu, Jiva!"

Kami melanjutkan makan malam itu dengan sunyi antar satu-sama lain. Setelah kejadian seminggu lalu, aku merasa bisa mempercayai makhluk kecil ini, cebol kegelapan yang muncul entah darimana, tidak bisa dipukul, dan terus mengikuti diriku, menghujaniku dengan hal-hal yang tak ingin kudengar lagi.

 Sampai saat ini aku tak menyangka akan berjalan di tempat ini, padahal kudengar hanya orang kesurupan, orang gila, dan orang putus asa yang akan datang ke 'Tanah di Ujung Dunia' sebutan orang-orang selain 'Daratan yang Selalu Hujan'

tidak ada daratan yang dapat ditemui setelah melewati pulau ini, hanya akan ada laut. Beberapa orang bahkan percaya kalau kau berlayar lebih jauh dari itu, maka kau akan bertemu Pinggiran Dunia dan akan jatuh ke langit.

"Orang-orang pintar di dunia ini menganggap dunia mempunyai pinggiran."

suara serak mencicit yang muncul dari mulut makhluk itu membuatku tersentak.

"Tetapi apakah mampu seorang yang tanpa latar belakang, tanpa pendidikan, dan tanpa siapapun yang mengenalnya tiba-tiba berteriak di hadapan mereka, 'Dunia itu bulat!'"

Aku bisa merasakan bahwa dia menatapku. Menatapku seakan ia meminta komentar dari kata-katanya barusan.

"Kau bertanya pertanyaan yang konyol, sudah pasti ia akan didepak dari tempat itu, dan dia akan disebut orang gila."

Ia terdiam, ada jeda waktu cukup lama sampai ia tertawa dengan nada aneh.

heh.... heh.... heh....

"Orang pintar memang selalu dipandang orang bodoh ya?"

"Huh?"

"Bila Dunia itu datar, berarti akan ada batasan dari segala hal, tetapi, apakah pernah kamu lihat, Jiva, dunia tanpa batasan dimana semua kemungkinan adalah infinite?"
"Apakah kamu tidak mau beranggapan Jiva, bahwa ada kemungkinan lain di atas langit sana, seperti keberadaan makhluk hidup di bintang nun jauh disana?"

Aku terdiam, pernyataan si cebol hitam ini entah bagaimana cukup menarik, walaupun ada omong kosong yang tidak aku setujui disana.

"Aku pernah berpikir seperti itu," jawabku, "Tetapi aku sadar bahwa hal itu tidak akan mendatangkan keuntungan materiil, maka aku mulai berpikir realistis setelah itu,"

"Ah, manusia memang bebal! uang ini-itu! barang ini-itu!" cebol itu sekali lagi mengumpat, kamudian memasukan sisa besar biskuit keras ke mulutnya secara paksa dan membuang bungkusnya ke perapian.

"Hei, aku hanya mencoba berpikir realistis," protesku

"Ketika otak bebalmu sudah bisa mengartikan 'realistis'  dengan benar, baru kau kembali berpikir, dasa dungu kepala batu!"

Sudahlah, marahpun tidak akan ada gunanya pada makhluk satu ini.

Ia mulai menghujaniku dengan hinaan dan caci-maki, tetapi sudahlah, memang itu tugas makhluk jahanam ini, aku sudah terbiasa dengannya.


Kami menghabiskan malam itu seperti biasa, ditemani rintik hujan, dan mengamati bintang.
Ah, sudah berapa lama aku tidak mengamati bintang? sepertinya sudah lama aku tidak membayangkan luar angkasa itu, sebuah dunia penuh bintang dimana galaksi terlihat seperti kabut bercahaya, dimana kau bisa membayangkan duniamu sendiri dan dimana... dimana seperti yang cebol itu bilang.

Dunia tanpa batas...

apakah benar itu ada, dunia yang tanpa batas itu?

pantaskah kucari, dunia tanpa batas yang dia katakan?

Aku bangkit, kemudian melihat di kejauhan langit.

"Apakah kau disana?"

"Tolong katakan padaku.... dapatkah aku mencapai dunia itu?"

Selasa, 08 Juli 2014

Circus Monster

Tirai terangkat,
Sorak-sorai kembali membahana.
Diluar sana, diluar kandang besi yang menyekapku,
sudah menunggu orang-orang yang menunggu untuk melihat.

Seorang Gadis Monster, seorang gadis iblis
Gadis aneh dengan tanduk sapi di kepalanya
Walaupun wajahnya cantik menawan,
semua orang selalu saja menunjuk tanduk di kepalanya,
Menunjuk-nunjuk sambil meneriakan satu kata yang sama.

"Iblis!"

Seorang Gadis yang cantik menawan
engkau akan menyangka bahwa ia titisan dewi
tetapi dengan tanduk itu

siapa yang akan peduli?

Hari ini pun sang gadis menjalani harinya

dalam kandang penuh olokan dari orang kaya

yang membayar untuk menontonnya.


(Based on "Circus Monster" song by Vocaloid)

Minggu, 06 Juli 2014

Daratan yang selalu hujan

Jadi disinilah aku kembali berdiri,
daratan kelabu, berbatu, dan hanya sedikit tanaman yang tumbuh.
kehidupan menjauhi tanah ini
tetes-tetes air menjatuhi bumi daratan ini
malaikat menangisi tanah ini
Tuhan berkeringat berusaha terus memperbaikinya
tetapi tidak sejengkalpun pohon dapat tumbuh dan berdiri tegak

Aku berdiri terpaku, melihat di kejauhan tanpa ada yang pantas ditunggu, yang kulihat bukanlah harapan, yang kulihat adalah bukit-bukit kering, sekering hati ini, sekering hatimu, sekering harapan mereka yang tidak percaya.

"Apa yang kau nanti?" sebuah suara mengerang di sampingku.
jujur, aku bahkan tidak ingat bahwa dia ada disini.
sosok bertopeng itu sedikit lebih pendek dariku, ia mengenakan jubah hitam kelam, satu-satunya hal yang memisahkan dirinya dengan kelabu langit adalah topeng yang dipakainya.
Topeng putih dengan ukiran bibir yang merah bagaikan darah, sebuah kombinasi yang sempurna untuk menyembunyikan rupa buruk yang ada di balik topeng itu.

"Kau menanti harapan?" lanjut suara itu pelan, bagaikan suara tikus mencicit penuh ejek dihadapan kucing tua yang lemah berjalan.

"Apa ada harapan menantiku disana?" aku menjawabnya sambil menyisakan jeda yang agak panjang.
parasol hitam ini entah kenapa semakin berat, ataukah lenganku yang mulai lelah? aku tidak tahu.
sesekali, aku mengganti tangan kiri dengan tangan kanan, bergantian mempertahankan parasol hitam ini untuk tetap memayungiku dari terpaan hujan yang tidak ada habisnya.

sesaat kemudian dia tertawa.
kali ini jelas sekali dia mengejekku.

"Jiva," ia memanggilku
padahal itu bukan namaku,

"Bagi anak manusia, kehilangan harapan itu akhir dari segalanya," ia terkekeh lagi,
"Contohnya itu ya kamu,"

Aku mengerang kesal, kuayunkan tanganku untuk menempelengnya, tetapi ia hilang, lepas menjadi kabut hitam dengan bau gosong.
kemudian dia muncul di samping kananku, tertawa terbahak-bahak atas usahaku yang sia-sia.

Aku tidak mencoba untuk memukulnya lagi, karena itu akan sia-sia, terakhir aku mencoba menangkapnya, bahkan menusuknya dengan belati, dia terus menghilang dibalik bayangan itu. Makhluk sial yang entah muncul darimana, selalu saja membisikan kata-kata kotor dan hinaan kepadaku.

"Seberapa lama sih kamu sudah kehilangan Kirana?"
"Kirana?"
"Halah jangan pura-pura ngga tahu kamu!"

"Siapa heh yang buat lagu tentang Gadis Kecil itu?
Gadis yang bersayap matahari, menangis di kursi taman...
Siapa yang dengan senang hati mendongengkannya, membuatkannya lagu seindah itu kemudian menemaninya hingga ia terbang kembali?
Oh, kamu jangan pura-pura tidak tahu, Jiva, Bidadari yang kau temui itu, ya dia adalah Bidadari-mu, Kirana namanya, seperti namanya, ia anggun, bercahaya, dan cantik jelita,"

"Dia sudah tumbuh dewasa, aku percaya dia kini mencari kebahagiaan di angkasa sana,"

"KAMU GOBLOK APA TOLOL HAH!?"

Teriakan makhluk itu membuatku terlonjak, ia berteriak, marah, tetapi kemudian, dia tertawa, tawanya terbahak dan keras.
"Dasar yang namanya manusia goblok semua! telmi semua! tolol semua! ngga ada namanya perasa! kalian terlalu mengandalkan otak sama otot! nurani...! nurani itu dipakailah, Jiva!!" ia menunjuk-nunjuk dadaku seperti ada yang salah disana.

"Jangan sampai nanti kamu bilang 'nurani' itu hanya kesadaran otak, bla bla bla... hormon ini, hormon itu, bla bla bla... sedikit-sedikit DNA ini, DNA itu..."
"Kalian manusia cuman mau cari luarnya saja ya!? tidak mau tahu didalam jiwa bengis nan tololnya kalian itu, ada permata berharga yang Sang Hyang Widhi tanamkan untuk kebahagiaan kalian!"
"Kalau kalian berpikir ini omong kosong tentang pengharapan palsu, yasudahlah kalian para orang-orang bebal berpikir demikian! ditawarkan air mineral, kalian pilih air got, kalau mau menderita, menderita saja sana!"

Ia menarik nafasnya, seakan akhirnya beban kata- kata yang ia simpan telah keluar.
"Kirana itu bukan macam perempuan yang biasa kau sapa, Jiva."
"Kirana itu bukan perempuan fana yang bisa kau gengam, ataupun engkau setubuhi dengan otak lumutanmu itu! bukan!"
"Coba, siapa yang membuat lagu Gadis Kecil itu?"
"Lagu yang jauh dari sempurna, tetapi memiliki nada ketika membuatnya, lagu yang jauh dari lagu-lagu para penyair, tetapi jiwa ketika sang pembuatnya - kau sendiri, menyanyikannya, membayangkan rupa Gadis Kecil sembari membayangkan nada-nada yang mungkin cocok untuk dinyanyikan."

"Itu..."

"Apa seorang manusia rela melakukan sedemikian rupa untuk suatu hal yang tak fana?"

Aku terdiam mematung, kata-kata makhluk ini, semuanya jelas, seakan menusuk nuraniku, memaksanya untuk bangkit.

"Kau telah berjuang 2 tahun ini dalam tubuh manusiamu, tetapi saatnya untuk kembali, Jiva." ia mendekatkan topengnya pada wajahku, saking dekatnya ia sampai aku bisa melihat matanya yang ada di balik topeng tersebut.
Mata coklat keemasan
Seperti mataku.

Disini, di daratan kelabu yang selalu turun hujan,
aku memandang pada bukit kering kerontang di kejauhan.
Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku melihat cahaya sayap Kirana jauh di kaki langit.