Minggu, 06 Juli 2014

Daratan yang selalu hujan

Jadi disinilah aku kembali berdiri,
daratan kelabu, berbatu, dan hanya sedikit tanaman yang tumbuh.
kehidupan menjauhi tanah ini
tetes-tetes air menjatuhi bumi daratan ini
malaikat menangisi tanah ini
Tuhan berkeringat berusaha terus memperbaikinya
tetapi tidak sejengkalpun pohon dapat tumbuh dan berdiri tegak

Aku berdiri terpaku, melihat di kejauhan tanpa ada yang pantas ditunggu, yang kulihat bukanlah harapan, yang kulihat adalah bukit-bukit kering, sekering hati ini, sekering hatimu, sekering harapan mereka yang tidak percaya.

"Apa yang kau nanti?" sebuah suara mengerang di sampingku.
jujur, aku bahkan tidak ingat bahwa dia ada disini.
sosok bertopeng itu sedikit lebih pendek dariku, ia mengenakan jubah hitam kelam, satu-satunya hal yang memisahkan dirinya dengan kelabu langit adalah topeng yang dipakainya.
Topeng putih dengan ukiran bibir yang merah bagaikan darah, sebuah kombinasi yang sempurna untuk menyembunyikan rupa buruk yang ada di balik topeng itu.

"Kau menanti harapan?" lanjut suara itu pelan, bagaikan suara tikus mencicit penuh ejek dihadapan kucing tua yang lemah berjalan.

"Apa ada harapan menantiku disana?" aku menjawabnya sambil menyisakan jeda yang agak panjang.
parasol hitam ini entah kenapa semakin berat, ataukah lenganku yang mulai lelah? aku tidak tahu.
sesekali, aku mengganti tangan kiri dengan tangan kanan, bergantian mempertahankan parasol hitam ini untuk tetap memayungiku dari terpaan hujan yang tidak ada habisnya.

sesaat kemudian dia tertawa.
kali ini jelas sekali dia mengejekku.

"Jiva," ia memanggilku
padahal itu bukan namaku,

"Bagi anak manusia, kehilangan harapan itu akhir dari segalanya," ia terkekeh lagi,
"Contohnya itu ya kamu,"

Aku mengerang kesal, kuayunkan tanganku untuk menempelengnya, tetapi ia hilang, lepas menjadi kabut hitam dengan bau gosong.
kemudian dia muncul di samping kananku, tertawa terbahak-bahak atas usahaku yang sia-sia.

Aku tidak mencoba untuk memukulnya lagi, karena itu akan sia-sia, terakhir aku mencoba menangkapnya, bahkan menusuknya dengan belati, dia terus menghilang dibalik bayangan itu. Makhluk sial yang entah muncul darimana, selalu saja membisikan kata-kata kotor dan hinaan kepadaku.

"Seberapa lama sih kamu sudah kehilangan Kirana?"
"Kirana?"
"Halah jangan pura-pura ngga tahu kamu!"

"Siapa heh yang buat lagu tentang Gadis Kecil itu?
Gadis yang bersayap matahari, menangis di kursi taman...
Siapa yang dengan senang hati mendongengkannya, membuatkannya lagu seindah itu kemudian menemaninya hingga ia terbang kembali?
Oh, kamu jangan pura-pura tidak tahu, Jiva, Bidadari yang kau temui itu, ya dia adalah Bidadari-mu, Kirana namanya, seperti namanya, ia anggun, bercahaya, dan cantik jelita,"

"Dia sudah tumbuh dewasa, aku percaya dia kini mencari kebahagiaan di angkasa sana,"

"KAMU GOBLOK APA TOLOL HAH!?"

Teriakan makhluk itu membuatku terlonjak, ia berteriak, marah, tetapi kemudian, dia tertawa, tawanya terbahak dan keras.
"Dasar yang namanya manusia goblok semua! telmi semua! tolol semua! ngga ada namanya perasa! kalian terlalu mengandalkan otak sama otot! nurani...! nurani itu dipakailah, Jiva!!" ia menunjuk-nunjuk dadaku seperti ada yang salah disana.

"Jangan sampai nanti kamu bilang 'nurani' itu hanya kesadaran otak, bla bla bla... hormon ini, hormon itu, bla bla bla... sedikit-sedikit DNA ini, DNA itu..."
"Kalian manusia cuman mau cari luarnya saja ya!? tidak mau tahu didalam jiwa bengis nan tololnya kalian itu, ada permata berharga yang Sang Hyang Widhi tanamkan untuk kebahagiaan kalian!"
"Kalau kalian berpikir ini omong kosong tentang pengharapan palsu, yasudahlah kalian para orang-orang bebal berpikir demikian! ditawarkan air mineral, kalian pilih air got, kalau mau menderita, menderita saja sana!"

Ia menarik nafasnya, seakan akhirnya beban kata- kata yang ia simpan telah keluar.
"Kirana itu bukan macam perempuan yang biasa kau sapa, Jiva."
"Kirana itu bukan perempuan fana yang bisa kau gengam, ataupun engkau setubuhi dengan otak lumutanmu itu! bukan!"
"Coba, siapa yang membuat lagu Gadis Kecil itu?"
"Lagu yang jauh dari sempurna, tetapi memiliki nada ketika membuatnya, lagu yang jauh dari lagu-lagu para penyair, tetapi jiwa ketika sang pembuatnya - kau sendiri, menyanyikannya, membayangkan rupa Gadis Kecil sembari membayangkan nada-nada yang mungkin cocok untuk dinyanyikan."

"Itu..."

"Apa seorang manusia rela melakukan sedemikian rupa untuk suatu hal yang tak fana?"

Aku terdiam mematung, kata-kata makhluk ini, semuanya jelas, seakan menusuk nuraniku, memaksanya untuk bangkit.

"Kau telah berjuang 2 tahun ini dalam tubuh manusiamu, tetapi saatnya untuk kembali, Jiva." ia mendekatkan topengnya pada wajahku, saking dekatnya ia sampai aku bisa melihat matanya yang ada di balik topeng tersebut.
Mata coklat keemasan
Seperti mataku.

Disini, di daratan kelabu yang selalu turun hujan,
aku memandang pada bukit kering kerontang di kejauhan.
Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku melihat cahaya sayap Kirana jauh di kaki langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar