Selasa, 15 Juli 2014

Perjalanan di Tanah yang Selalu Hujan

"Jadi gimana, Jiva?"

Aku mendengar sosok dihadapanku memulai pembicaraan, sembari menikmati roti keras kami di tengah padang gurun yang menitikan butiran air hujan. Nada pertanyaan itu terdengar menjengkelkan - seperti yang selalu dia lakukan.

"Kapok aku."

"Yakin kapok?"

Suara itu kembali menggema di gendang telingaku, makhluk sialan ini, tanpa sedikitpun menurunkan topeng di wajahnya, ia menyelipkan potongan-potongan roti keras lewat dagu dari bawah topengnya, sesaat kemudian terdengar suara orang mengunyah dan mengecap.

"Kau menjijikan." komentarku

"Lebih menjijikan mana dibanding orang yang menghabiskan koin emas untuk peralatan ritual tak berguna? kemana lagi koin perak yang hilang diraib penipu di kota Fargard?"
"Oh, ya, itu kau Jiva, dan sebagai tambahan, kau bukan hanya menjijikan, tapi kau juga dungu dan naif."

"Aku membencimu,"

ia terkekeh, "Memang seharusnya begitu, Jiva!"

Kami melanjutkan makan malam itu dengan sunyi antar satu-sama lain. Setelah kejadian seminggu lalu, aku merasa bisa mempercayai makhluk kecil ini, cebol kegelapan yang muncul entah darimana, tidak bisa dipukul, dan terus mengikuti diriku, menghujaniku dengan hal-hal yang tak ingin kudengar lagi.

 Sampai saat ini aku tak menyangka akan berjalan di tempat ini, padahal kudengar hanya orang kesurupan, orang gila, dan orang putus asa yang akan datang ke 'Tanah di Ujung Dunia' sebutan orang-orang selain 'Daratan yang Selalu Hujan'

tidak ada daratan yang dapat ditemui setelah melewati pulau ini, hanya akan ada laut. Beberapa orang bahkan percaya kalau kau berlayar lebih jauh dari itu, maka kau akan bertemu Pinggiran Dunia dan akan jatuh ke langit.

"Orang-orang pintar di dunia ini menganggap dunia mempunyai pinggiran."

suara serak mencicit yang muncul dari mulut makhluk itu membuatku tersentak.

"Tetapi apakah mampu seorang yang tanpa latar belakang, tanpa pendidikan, dan tanpa siapapun yang mengenalnya tiba-tiba berteriak di hadapan mereka, 'Dunia itu bulat!'"

Aku bisa merasakan bahwa dia menatapku. Menatapku seakan ia meminta komentar dari kata-katanya barusan.

"Kau bertanya pertanyaan yang konyol, sudah pasti ia akan didepak dari tempat itu, dan dia akan disebut orang gila."

Ia terdiam, ada jeda waktu cukup lama sampai ia tertawa dengan nada aneh.

heh.... heh.... heh....

"Orang pintar memang selalu dipandang orang bodoh ya?"

"Huh?"

"Bila Dunia itu datar, berarti akan ada batasan dari segala hal, tetapi, apakah pernah kamu lihat, Jiva, dunia tanpa batasan dimana semua kemungkinan adalah infinite?"
"Apakah kamu tidak mau beranggapan Jiva, bahwa ada kemungkinan lain di atas langit sana, seperti keberadaan makhluk hidup di bintang nun jauh disana?"

Aku terdiam, pernyataan si cebol hitam ini entah bagaimana cukup menarik, walaupun ada omong kosong yang tidak aku setujui disana.

"Aku pernah berpikir seperti itu," jawabku, "Tetapi aku sadar bahwa hal itu tidak akan mendatangkan keuntungan materiil, maka aku mulai berpikir realistis setelah itu,"

"Ah, manusia memang bebal! uang ini-itu! barang ini-itu!" cebol itu sekali lagi mengumpat, kamudian memasukan sisa besar biskuit keras ke mulutnya secara paksa dan membuang bungkusnya ke perapian.

"Hei, aku hanya mencoba berpikir realistis," protesku

"Ketika otak bebalmu sudah bisa mengartikan 'realistis'  dengan benar, baru kau kembali berpikir, dasa dungu kepala batu!"

Sudahlah, marahpun tidak akan ada gunanya pada makhluk satu ini.

Ia mulai menghujaniku dengan hinaan dan caci-maki, tetapi sudahlah, memang itu tugas makhluk jahanam ini, aku sudah terbiasa dengannya.


Kami menghabiskan malam itu seperti biasa, ditemani rintik hujan, dan mengamati bintang.
Ah, sudah berapa lama aku tidak mengamati bintang? sepertinya sudah lama aku tidak membayangkan luar angkasa itu, sebuah dunia penuh bintang dimana galaksi terlihat seperti kabut bercahaya, dimana kau bisa membayangkan duniamu sendiri dan dimana... dimana seperti yang cebol itu bilang.

Dunia tanpa batas...

apakah benar itu ada, dunia yang tanpa batas itu?

pantaskah kucari, dunia tanpa batas yang dia katakan?

Aku bangkit, kemudian melihat di kejauhan langit.

"Apakah kau disana?"

"Tolong katakan padaku.... dapatkah aku mencapai dunia itu?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar