Senin, 25 Agustus 2014

Kota Aurora

Bulan 17, tahun 1076 Alruto

3 bulan lalu aku mencoba bunuh diri dengan pergi menuju Tanah tak bertuan yang berada di ujung utara dunia ini. Sebuah tanah gersang yang dikutuk keberadaannya, pada jaman dulu kala, para petualang kurang beruntung yang menginjakan kakinya ke tanah gersang itu selalu hilang tanpa jejak. Sejak saat itu rumor yang mengatakan bahwa pulau itu terkutuk selalu menjadi tujuan orang-orang putus asa dan para pelarian untuk mengakhiri hidupnya.

Tetapi, alih-alih dicabut nyawaku aku malah bertemu dengan seorang makhluk cebol yang selalu mengenakan topeng aneh dan jubah hitam kelam, hanya aku yang mengetahui keberadaannya dan hanya aku yang dapat melihat dan berbicara dengannya.

Ada suatu saat ketika makhluk sialan ini memukul kepalaku, bukan hanya sekali, bahkan 5 kali dengan menggunakan papan dayung sampai papan tersebut patah. Tanpa sadar, ia ternyata telah membawaku mengarungi lautan selama 3 minggu lamanya, dan ketika aku sadar, kita telah berlabuh ke pantai di kota Seiverda, yang ada di benua Ta’duk, Setiap malam selalu dingin berkat angin utara yang meniupi kota itu.

Aku tidak mengerti apa yang dilakukan makhluk sialan ini, pada awalnya aku mengira bahwa dialah yang selalu mencabut nyawa para pelancong putus asa, tetapi jika benar, apa yang dia lakukan membawaku kembali ke peradaban?

Ketika kapal akhirnya menyentuh pasir daratan pantai, ia memanggilku.

“Kita sudah sampai, cepat bangun!”

Biar kujelaskan dikit bagaimana suara makhluk itu, serak, dan terdengar mencicit, jika bisa kumiripkan, suaranya sama persis seperti tikus yang dicekik ketika mendekati ajalnya.
“Apa yang kau lakukan?” dengan mata berkabut aku bangun, ada cahaya kota diatas tebing pantai ini, layaknya lentera yang bercahaya remang-remang.

“Aku membawamu kembali ke tempatmu berasal,” kata makhluk itu.

Dinginnya angin laut malam seperti mencambukiku, aku merangkak keluar dari perahu dan menginjakan kaki ke pasir basah.

“Kenapa kau membawaku kesini?”
Aku bertanya pelan. Aku marah, ingin rasanya mengeluarkan pekikan yang lebih keras, tetapi rasanya tenaga ini sudah habis.

“Ayo jalan!” ia memerintahku.
Makhluk itu berjalan mendahuluiku menuju kota kecil itu, entah mengapa, tetapi aku memutuskan untuk mengekornya, kerasukan apa aku sehingga mau-maunya diperintah makhluk menjijikan seperti ini?

Jalan makin menanjak, kota makin dekat. Aku bisa menghirup aroma harum roti panggang di perapian.

Tanpa sadar, aku sudah bediri di depan sebuah pintu.

Tok! Tok!
Suara ketokan itu bukan berasal dariku, tetapi dari makhluk hitam yang berdiri di sisi pintu.
“Ya? Siapa ya?”
Terdengar suara perempuan muda dari dalam rumah, 20? Tidak, mungkin 17 tahun…

Tiba-tiba, pintu dibuka, dan aku langsung ambruk.

Seminggu kemudian, aku menemukan diriku bekerja sebagai pembuat roti di sebuah toko roti kecil yang terletak di pesisir pantai. Aku bahagia bahwa keluarga yang menampungku cukup baik untuk menerima seorang pengembara yang menyelamatkan diri dari terjangan badai sehabis kapal karam (aku menerka cerita itu, bila aku berkata bahwa aku dari Daratan Utara, mungkin mereka akan mendepakku keluar karena aku dikutuk).

“Qiva, tolong buatkan satu Loyang roti tawar lagi,” suara gadis itu memanggil dari balik dapur.

“Baik,” aku menjawab singkat, sebuah adonan roti yang telah aku uleni dan mencampurkannya dengan ragi. Tanganku terlatih membuat roti, apalagi roti tawar, 20 tahun lalu, aku menghabiskan masa remajaku membuat roti di rumah orang tuaku.

Oven yang ada di seberang ruangan kembali mengeluarkan aroma harum roti panggang, pertanda roti sudah matang dan siap dihidangkan.

Setelah menukar roti matang dengan adonan mentah, dan memasukannya kembali ke oven, aku membawa roti-roti baru matang itu ke depan toko.

“Ini, satu Loyang roti tawar yang masih hangat, aku menyerahkan Loyang itu pada si gadis. Gina namanya, dia remaja yang hidup sebatang kara. Ditinggalkan orang tuanya dalam kecelakaan kapal laut membuatnya menghadapi dunia sendirian, dia terus menjaga toko roti orang tuanya tetap hidup, karena inilah satu-satunya peninggalan orang tuanya.

“Terima kasih, kerjamu bagus sekali , Qiva,” serunya, setelah menyerahkan roti tersebut pada seorang wanita tua, dia mengajakku istirahat.

Omong-omong, Qiva, aku mengarang nama itu karena aku telah membuang nama lamaku. Tidak ada nama untuk orang mati,
Ya, tidak ada nama untuk orang mati.
Tidak ada nama untuk orang yang dilupakan, tidak ada nama untuk orang yang tak dibuang.
Tidak ada nama untukku.



Gina menuangkan teh hangat untukku, kemudian untuk dirinya sendiri.
Ia tersenyum padaku, kemudian menceritakan banyak hal.
Tentang kota ini, kota pelabuhan kecil yang tidak banyak didatangi orang, walaupun begitu ia merasa senang tinggal disini, orangnya ramah-ramah, mereka selalu membantu Gina saat ia membutuhkan, dan sebagai gantinya, Gina menjual roti-rotinya dengan harga yang sangat murah.
Roti buatan Gina sangat enak, harum dan hangat, seakan Gina telah meniupkan roh ke dalam makanan itu.

Aku mendengarkan ceritanya dari awal sampai akhir, Gina selalu tersenyum di setiap saat, seakan tidak ada satupun masalah di dunia ini yang dapat mengusiknya.


“Hei cebol, apa yang terus kau tertawakan?”
Matahari sudah terbenam, bintang sudah mulai nampak dari langit timur. Senja hari ini di tepi pantai kuhabiskan meladeni si cebol ini yang katanya ‘ingin bercakap-cakap’ Tidak ada yang sepatah katapun keluar dari mulut tikusnya selain tertawaan kecil, mengherankan, rencana apa yang disembunyikan bajingan tengik ini?

“Jiva? Qiva? Mana namamu yang asli goblok?”

“Aku tidak punya nama, terserah aku siapa diriku.” Jawabku ketus, Si Cebol itu berjalan mendahuluiku, ia melangkah mendekat ke air.

“Sebenarnya kamu tahu siapa aku?” katanya.

“Siapa? Siapa kamu?” aku terdiam,

Benar juga, aku tidak pernah mengetahui apaan si bajingan ini sampai aku datang ke Pulau Utara itu, awalnya aku pikir mungkin makhluk ini adalah malaikat pencabut nyawa atau semacamnya, ternyata ia hanya iblis pengganggu belaka.

“Memangnya siapa kamu?” jawabku agak menantang.

Tiba-tiba aku merasakan kegelapan menyelimuti pantai, kegelapan itu amat gelap, hingga menutupi bintang. Aku tidak tahu apakah kegelapan yang menelan bintang, atau aku yang telah ditelannya. Tidak ada suara desiran ombak, tidak ada suara angin pantai yang kencang, semuanya terasa hampa, hanya ada kegelapan.

Dan di kegelapan itu, aku melihat seorang laki-laki.
Laki-laki itu tegap dengan badan yang cukup besar, rambutnya hitam dipotong pendek sama rata, matanya terlihat malas, benar-benar sosok yang membosankan.
Orang itu aku.

“Aku adalah kau.” Katanya


Didalam kegelapan ia berbicara padaku, tangannya memegang sebuah topeng. Topeng milik si cebol tadi.

Perlahan, kegelapan mulai menghilang, bintang-bintang kembali bersinar, ombak kembali berdesir, angin kembali berhembus.
Tetapi pertanyaan yang tersisa dibenakku.

“Kau adalah aku?”

“Aku adalah dirimu yang lain Jiva.” Seru si cebol itu. “Aku adalah Kejujuran.” Katanya.

Kejujuran? Diriku yang lain? Jelaskan padaku sekarang!

“Orang-orang datang ke Pulau Utara hanya untuk bertemu dengan cerminan dirinya, mereka bertemu dirinya yang lain, tidak terima, mereka bergelut dengannya, karena itulah mereka meninggal kehabisan tenaga.”

“Tetapi aku melihat perbedaan dirimu, Jiva,” katanya.

Aku tidak bisa mengatakan dia manusia, tetapi… ia mirip sekali denganku, lebih dari itu, dia adalah aku. Percakapan yang cukup gila ini, sekarang aku mengerti…

“Lantas kenapa kau tidak segera membunuhku?”

“Oh, jangan salahkan aku bila kau masih hidup sampai sekarang Jiva, salahkan saja sifat ‘terlalu sabar’ mu itu, salahkan sifat pengecutmu, dan salahkan pula keberanianmu. Aku tahu Jiva, jauh di lubuk hatimu yang paling dalam, kamu tidak ingin mati. Kamu ingin hidup.”
Mendengar ceramahnya aku terdiam.

Yang benar saja? Aku datang jauh-jauh dari keputus-asaan dan kembali lagi karena takut akan kematian? Hebat, hebat sekali.

“Kau berkata seperti itu, tapi kau tidak akan mati sekarang, Jiva, tidak saat ini, tidak besok, setidaknya, tidak dalam waktu dekat ini,”

“JANGAN BERCANDA!” aku berteriak, aku berlari mencengkeram kerahnya, badannya yang telah kembali makhluk cebol kuangkat dan kulempar.
Ini pertama kalinya aku berhasil menyentuhnya.

“Jangan besar kepala Jiva!” teriaknya, ia menunjukan jarinya ke arah kota

Ketika aku berbalik, aku melihat cahaya kemerahan, api! Kemudian teriakan! Aku tidak percaya pada apa yang terjadi, aku segera berlari, berlari menuju kota itu, berlari menuju rumah Gina.
Orang-orang saling berteriak dan berlarian, ini bukan kebakaran biasa. Derap kuda diiringi dengan suara sabetan pedang. Aku tahu, aku kerap mendengar kelompok bandit pengelana yang mebentuk sebuah suku barbar yang selalu menjarah kota-kota, kehadiran mereka tidak pernah diduga, bagaikan hewan predator, mereka selalu membunuh dan menjarah, jika sebuah kota diserang bisa dipastikan mereka tidak akan bisa bertahan esok harinya.

“Gina! Gina!”

Langkahku semakin mendekatkanku ke sebuah toko roti itu, toko roti yang disinari oleh merahnya warna api, dihadapannya ada Gina, ia berlutut dengan air mata berderai di sekeliling pipinya, disampingnya ada seorang bandit dengan badan gemuk menyeramkan membawa sebuah golok.

“Hentikan!” teriakku

Tetapi sudah terlambat, besi itu telah membelah leher sang gadis, dalam sekejap mata, kepala itu berguling di tanah, meneteskan darah segar yang menjadi genangan.
Menyadari ada orang yang mengawasi kematian sang mangsa, si bandit menyeringai, goloknya kembali terangkat, ia berlari untuk menyerang lelaki yang tak bisa bangun dari shyok yang baru menimpanya.

Akan tetapi, belum setengah jalan, bandit itu terjatuh, ia menjerit karena rasa sakit yang amat sangat dari kakinya, ternyata kakinya telah terpotong, entah dengan apa. Kemudian menyusul dengan itu, tangan kanan dan kirinya juga ikut terpotong, dalam tangis kesakitannya, bandit itu meninggal kehabisan darah.

Aku hanya bisa diam, diam dan melihat bagaimana bandit itu mati, merasakan ketidak berdayaanku, aku pingsan.

Esok paginya, aku terbangun di tengah kota yang sudah menjadi puing-puing, mayat bergelimpangan dimana-mana, tidak ada rakyat yang selamat, dan para bandit sudah kembali ke laut mereka.
Diam tanpa bisa melakukan apa-apa, aku hanya menatap jenazah Gina yang sedang diperebutkan oleh para gagak.
“Tidak, tidak tidak!” teriakku, aku putus asa, aku kesal, aku sedih.

“Hei!”
Si cebol memukul kepalaku dari belakang

“Ayo kita lanjutkan perjalanan.”



malam itu, sebuah kota kecil yang terkenal indah akan cahaya Auroranya, terbakar habis, hanya menyisakan abu dan asap. Angin utara menghebuskan angin dingin menusuk, tidak ada kehangatan disana.

tidak ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar