Sabtu, 31 Agustus 2013

Prologue, and Story of a Sibling

Dunia tempat orang mati,
Dahulu kala, ketika dunia masih merupakan batu karang semata,
Tersebutlah sepasang Dewa-Dewi, Zor dan Ver.

Zor dan Ver, adalah suami dan istri, mereka adalah 'parent' yang menjadi cikal bakal munculnya dunia kami.

Zor dan Ver mempunyai 3 orang anak. Dan mereka bertiga yang nantinya akan mewakili 'persona' yang ada di bumi.
Persona adalah sebutan kami untuk cahaya, kegelapan, dan manusia. 3 unsur utama yang memberi arti sebuah keberadaan bagi Bumi.

Aileen adalah Dewi cahaya,
Tyamat adalah Dewa yang menguasai kegelapan
Dan Argos, adalah Dewi yang juga manusia pertama di muka bumi.

Kisah demi kisah, menceritakan perselisihan antar ketiga saudara ini, dimana Aileen ingin menguasai bumi dengan malaikatnya, Tyamat dengan iblisnya, dan Argos dengan manusianya.
Argos selalu mengalami kekalahan, disebabkan manusia yang lemah, sementara Aileen dan Tyamat selalu seimbang.

Kisah yang aku ambil ini, adalah kisah yang paling terkenal. Sebuah kisah yang merupakan akhir dari Trilogi Para Dewa.

Tyamat, yang adalah satu-satunya Dewa di antara mereka, diam-diam memiliki rasa cinta kepada Argos. Akan tetapi, didorong oleh dendam akibat kekalahannya, Argos tidak pernah membalas rasa cinta Tyamat.
Tyamat marah, ia menculik Argos, dan memenjarakannya di dunia bawah selama 40 hari.
Dan dalam 40 hari itulah, manusia mengalami penderitaan panjang.

Aileen yang mendengus perbuatan Tyamat, memberinya obat tidur pada makanan Tyamat. Aileen berhasil, ia turun ke penjara bawah tanah untuk menyelamatkan Argos, akan tetapi, Argos telah melahirkan bayi yang didapatinya dari hubungannya dengan Tyamat.

Argos sedih, tetapi ia tidak ingin membunuh bayi itu.
Kata Aileen kepadanya,
" Saudariku, anak ini adalah campuran antara darah penuh kebangaan dengan sebuah darah jahat, tidak ada yang bisa ia lakukan selain merusak,"

"Tetapi saudariku, aku telah memberkati kelahiran bayi-bayi manusia, tidak ada satu bayipun yang tidak pernah merasakan pelukanku, dan tidak ada satu anak pun yang tidak mendapatkan kecupanku..."  balas Argos dengan sedih.

Merasa iba akan duka saudarinya, Aileen memberikan berkat pada bayi itu, ia menyayat kulitnya, dan membiarkan bayi itu minum darahnya yang berkilau bagai emas.
"Engkau jahat, tetapi di saat yang sama, engkau baik.
Ketika engkau dewasa, engkau akan memilih 2 jalan. Cahaya, atau Kegelapan.
Bila engkau memilih cahaya, engkau akan menjadi Persona Aileen, dan bila engkau memilih kegelapan, engkau akan menjadi Persona Tyamat."


Itulah sebuah kisah yang menjadi akhir dari Trilogi Dewa, dan menjadi awal bagi Abad Kerajaan Manusia, serta 'Persona' yang menjadi akar religius manusia.




****

Cerita-cerita itu sering dilatunkan oleh kakakku yang adalah seorang pengembara. Ia berkeliling menjelajahi daratan Vesopotamia, orang-orang desaku mengatakan bahwa ia adalah 'bard', pengelana yang berkeliling dunia dan menciptakan lagu.

Saat itu, aku yang masih kecil hanya dapat kagum akan kisah-kisah kakak laki-lakiku.

Lavestain, adalah namaku.
Tahun ini aku menginjak umur 17. Aku tinggal di sebuah desa terpencil di ujung lembah Eupora bersama adik laki-lakiku yang berusia 15 tahun, Mose.
Aku adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku, biasanya, anak-anak perempuan seumurku sudah memboyong orang-orang kaya maupun penguasa untuk menjadi istri mereka, tetapi, aku disini, membantu mengurus ladang orang tuaku.

Desa tempatku tinggal dekat dengan laut, karena itu beberapa penduduk desa adalah nelayan, termasuk ayahku.
Dengan hasil laut dan panen yang bagus, desa kami bisa mengurus diri kami sendiri tanpa harus menunggu bantuan kerajaan Harkos.

"Kakak, sudah selesai," tukas adikku sambil melemparkan seikat jerami ke gerobak. Aku ikut naik ke gerobak, dan membiarkan adikku menyetir keledai,
Inilah kehidupan sederhana kami, sesekali, gerobak kami berpapasan dengan tetangga dan petani lain, layaknya penduduk desa lain, kami saling memberi salam dan menyapa.

Kami berhenti sejenak di pasar, Mose mengikat kekang keledai ke tiang kayu,
"Mose? Kau ada urusan?" tanyaku padanya,
"Ya, dengan pak tua sebentar, tidak lama kok kak!"
Setelah mengatakan itu, Mose menghilang dibalik keramaian.

Mose memiliki rambut hitam serta mata hitam, berbeda denganku ataupun kakakku yang memiliki rambut pirang. Mose sendiri bukanlah saudara kandungku, orang tuaku menemukannya sebagai seorang balita yang terdampar karena arus laut.
Sejak saat itu, ia menjadi anggota keluargaku. Aku menganggapnya sudah seperti adik kandungku sendiri.

Tidak lama kemudian, Mose kembali dengan segenggam kantong kulit, ia terlihat senang ketika melepas ikatan keledai dan melanjutkan perjalanan ke rumah.
"Kau kelihatan senang, kerja apa lagi kali ini?" tanya ku,
Mose menunjukan 10 koin perunggu dan 5 koin perak,
"Aku berburu jamur langka di gunung dan mendapatkan Cakar Lynx, Pak Tua bilang itu akan sangat berguna untuk obat demam." jelas Mose.
"Setidaknya, dengan uang ini, kita bisa membeli alat tulis dan senar gitar yang baru kan?" Mose berpaling ke arahku dengan senyum lebar, aku mengiyakannya dan mengacak-acak rambutnya yang berantakan.

Matahari sudah hampir terbenam ketika kami sampai ke rumah, cahaya nya jingga bercampur kemerahan, di kaki langit lain, aku sudah bisa melihat bintang dan galaksi Verguso-Selendang Langit.

"Ibu, kami kembali," salamku pada ibu kami yang tengah memasak di dapur, Ibu bisu sejak lahir, sehingga ia membalas salam kami dengan senyuman, ibu berbicara pada kami lewat bahasa isyarat.

"Selamat datang" Ibu membuat gerakan dengan tangannya,
"Ayahmu masih di pantai tolomg panggil dia," lanjut Ibu lagi.

Mose tanggap, ia segera keluar dan berlari menuju pesisir pantai.
Aku duduk di meja makan, roti dan ayam goreng, spesial untuk ulang tahunku sudah tersedia di sana.
Sinar matahari senja yang menembus jendela rumah kami sekilas dihalangi oleh dua sosok tubuh, tak lama kemudian, Mose dan ayah masuk lewat pintu depan.

Ayahku berumur 40 tahun dengan otot kekar dan wajah tegas, luka di mata kirinya dia dapat ketika masa mudanya sebagai tentara kerajaan Harkos.

"Lihatlah, siapa putri kita yang berulang tahun!" ayah mencium pipiku dan mengacak-acak rambutku. Aku menyingkirkan tangan ayah walau ia terus mengacak-acak rambutku dengan paksa, ibu dan Mose hanya tertawa melihat tingkah kami berdua.

Matahari telah terbenam ketika kami memulai jamuan makan malam, khusus untukku yang telah menginjak umur 17 tahun, umur yang istimewa bagi seorang gadis perempuan.
"Bersulang, untuk anak gadis yang telah siap menjadi pendamping lelaki terbaik di dunia!" seru ayah sembari mengangkat gelas birnya tinggi-tinggi.
"Kakak belum mau menikah, yah," sergah Mose.
Diam-diam, aku berkata dalam hatiku bahwa aku tidak ingin menikah, ya, aku akan menjadi pengembara seperti Kak Derek, bard yang telah menceritakanku dongeng-dongeng dari berbagai daratan tempatnya berpijak.

"Ayah, apa Kak Derek akan datang kesini lagi?" aku bertanya pada ayahku, Kak Derek pasti akan pulang pada hari ulang tahunku atau hari ulang tahun Mose, sekadar untuk menceritakan kami kisah perjalanannya.
"Aku yakin ia pasti akan datang, kakakmu tidak pernah melupakan janjinya, bukan?" jawab ayah,
Ibu tersenyum ramah seakan menyetejui jawaban ayah.

Seusai makan malam, aku dan Mose pergi keluar, kami berniat untuk menunggu Kak Derek datang, mungkin kali ini ia akan datang lewat laut?

Kami berdua berbaring di pasir, memandang langit berbintang, hanya untuk menunggu Kakak kami datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar