Dunia
tempat orang mati,
Dahulu
kala, ketika dunia masih merupakan batu karang semata,
Tersebutlah
sepasang Dewa-Dewi, Zor dan Ver.
Zor
dan Ver, adalah suami dan istri, mereka adalah 'parent' yang menjadi cikal
bakal munculnya dunia kami.
Zor
dan Ver mempunyai 3 orang anak. Dan mereka bertiga yang nantinya akan mewakili
'persona' yang ada di bumi.
Persona
adalah sebutan kami untuk cahaya, kegelapan, dan manusia. 3 unsur utama yang
memberi arti sebuah keberadaan bagi Bumi.
Aileen
adalah Dewi cahaya,
Tyamat
adalah Dewa yang menguasai kegelapan
Dan
Argos, adalah Dewi yang juga manusia pertama di muka bumi.
Kisah
demi kisah, menceritakan perselisihan antar ketiga saudara ini, dimana Aileen
ingin menguasai bumi dengan malaikatnya, Tyamat dengan iblisnya, dan Argos
dengan manusianya.
Argos
selalu mengalami kekalahan, disebabkan manusia yang lemah, sementara Aileen dan
Tyamat selalu seimbang.
Kisah
yang aku ambil ini, adalah kisah yang paling terkenal. Sebuah kisah yang
merupakan akhir dari Trilogi Para Dewa.
Tyamat,
yang adalah satu-satunya Dewa di antara mereka, diam-diam memiliki rasa cinta
kepada Argos. Akan tetapi, didorong oleh dendam akibat kekalahannya, Argos
tidak pernah membalas rasa cinta Tyamat.
Tyamat
marah, ia menculik Argos, dan memenjarakannya di dunia bawah selama 40 hari.
Dan
dalam 40 hari itulah, manusia mengalami penderitaan panjang.
Aileen
yang mendengus perbuatan Tyamat, memberinya obat tidur pada makanan Tyamat.
Aileen berhasil, ia turun ke penjara bawah tanah untuk menyelamatkan Argos,
akan tetapi, Argos telah melahirkan bayi yang didapatinya dari hubungannya
dengan Tyamat.
Argos
sedih, tetapi ia tidak ingin membunuh bayi itu.
Kata
Aileen kepadanya,
"
Saudariku, anak ini adalah campuran antara darah penuh kebangaan dengan sebuah
darah jahat, tidak ada yang bisa ia lakukan selain merusak,"
"Tetapi
saudariku, aku telah memberkati kelahiran bayi-bayi manusia, tidak ada satu
bayipun yang tidak pernah merasakan pelukanku, dan tidak ada satu anak pun yang
tidak mendapatkan kecupanku..."
balas Argos dengan sedih.
Merasa
iba akan duka saudarinya, Aileen memberikan berkat pada bayi itu, ia menyayat
kulitnya, dan membiarkan bayi itu minum darahnya yang berkilau bagai emas.
"Engkau
jahat, tetapi di saat yang sama, engkau baik.
Ketika
engkau dewasa, engkau akan memilih 2 jalan. Cahaya, atau Kegelapan.
Bila
engkau memilih cahaya, engkau akan menjadi Persona Aileen, dan bila engkau
memilih kegelapan, engkau akan menjadi Persona Tyamat."
Itulah
sebuah kisah yang menjadi akhir dari Trilogi Dewa, dan menjadi awal bagi Abad
Kerajaan Manusia, serta 'Persona' yang menjadi akar religius manusia.
****
Cerita-cerita
itu sering dilatunkan oleh kakakku yang adalah seorang pengembara. Ia
berkeliling menjelajahi daratan Vesopotamia, orang-orang desaku mengatakan
bahwa ia adalah 'bard', pengelana yang berkeliling dunia dan menciptakan lagu.
Saat
itu, aku yang masih kecil hanya dapat kagum akan kisah-kisah kakak laki-lakiku.
Lavestain,
adalah namaku.
Tahun
ini aku menginjak umur 17. Aku tinggal di sebuah desa terpencil di ujung lembah
Eupora bersama adik laki-lakiku yang berusia 15 tahun, Mose.
Aku
adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku, biasanya, anak-anak
perempuan seumurku sudah memboyong orang-orang kaya maupun penguasa untuk
menjadi istri mereka, tetapi, aku disini, membantu mengurus ladang orang tuaku.
Desa
tempatku tinggal dekat dengan laut, karena itu beberapa penduduk desa adalah
nelayan, termasuk ayahku.
Dengan
hasil laut dan panen yang bagus, desa kami bisa mengurus diri kami sendiri
tanpa harus menunggu bantuan kerajaan Harkos.
"Kakak,
sudah selesai," tukas adikku sambil melemparkan seikat jerami ke gerobak.
Aku ikut naik ke gerobak, dan membiarkan adikku menyetir keledai,
Inilah
kehidupan sederhana kami, sesekali, gerobak kami berpapasan dengan tetangga dan
petani lain, layaknya penduduk desa lain, kami saling memberi salam dan
menyapa.
Kami
berhenti sejenak di pasar, Mose mengikat kekang keledai ke tiang kayu,
"Mose?
Kau ada urusan?" tanyaku padanya,
"Ya,
dengan pak tua sebentar, tidak lama kok kak!"
Setelah
mengatakan itu, Mose menghilang dibalik keramaian.
Mose
memiliki rambut hitam serta mata hitam, berbeda denganku ataupun kakakku yang
memiliki rambut pirang. Mose sendiri bukanlah saudara kandungku, orang tuaku
menemukannya sebagai seorang balita yang terdampar karena arus laut.
Sejak
saat itu, ia menjadi anggota keluargaku. Aku menganggapnya sudah seperti adik
kandungku sendiri.
Tidak
lama kemudian, Mose kembali dengan segenggam kantong kulit, ia terlihat senang
ketika melepas ikatan keledai dan melanjutkan perjalanan ke rumah.
"Kau
kelihatan senang, kerja apa lagi kali ini?" tanya ku,
Mose
menunjukan 10 koin perunggu dan 5 koin perak,
"Aku
berburu jamur langka di gunung dan mendapatkan Cakar Lynx, Pak Tua bilang itu
akan sangat berguna untuk obat demam." jelas Mose.
"Setidaknya,
dengan uang ini, kita bisa membeli alat tulis dan senar gitar yang baru
kan?" Mose berpaling ke arahku dengan senyum lebar, aku mengiyakannya dan
mengacak-acak rambutnya yang berantakan.
Matahari
sudah hampir terbenam ketika kami sampai ke rumah, cahaya nya jingga bercampur
kemerahan, di kaki langit lain, aku sudah bisa melihat bintang dan galaksi
Verguso-Selendang Langit.
"Ibu,
kami kembali," salamku pada ibu kami yang tengah memasak di dapur, Ibu
bisu sejak lahir, sehingga ia membalas salam kami dengan senyuman, ibu
berbicara pada kami lewat bahasa isyarat.
"Selamat
datang" Ibu membuat gerakan
dengan tangannya,
"Ayahmu masih di pantai tolomg panggil dia," lanjut Ibu lagi.
Mose
tanggap, ia segera keluar dan berlari menuju pesisir pantai.
Aku
duduk di meja makan, roti dan ayam goreng, spesial untuk ulang tahunku sudah
tersedia di sana.
Sinar
matahari senja yang menembus jendela rumah kami sekilas dihalangi oleh dua
sosok tubuh, tak lama kemudian, Mose dan ayah masuk lewat pintu depan.
Ayahku
berumur 40 tahun dengan otot kekar dan wajah tegas, luka di mata kirinya dia
dapat ketika masa mudanya sebagai tentara kerajaan Harkos.
"Lihatlah,
siapa putri kita yang berulang tahun!" ayah mencium pipiku dan
mengacak-acak rambutku. Aku menyingkirkan tangan ayah walau ia terus
mengacak-acak rambutku dengan paksa, ibu dan Mose hanya tertawa melihat tingkah
kami berdua.
Matahari
telah terbenam ketika kami memulai jamuan makan malam, khusus untukku yang
telah menginjak umur 17 tahun, umur yang istimewa bagi seorang gadis perempuan.
"Bersulang,
untuk anak gadis yang telah siap menjadi pendamping lelaki terbaik di
dunia!" seru ayah sembari mengangkat gelas birnya tinggi-tinggi.
"Kakak
belum mau menikah, yah," sergah Mose.
Diam-diam,
aku berkata dalam hatiku bahwa aku tidak ingin menikah, ya, aku akan menjadi
pengembara seperti Kak Derek, bard yang telah menceritakanku dongeng-dongeng dari berbagai daratan
tempatnya berpijak.
"Ayah,
apa Kak Derek akan datang kesini lagi?" aku bertanya pada ayahku, Kak
Derek pasti akan pulang pada hari ulang tahunku atau hari ulang tahun Mose,
sekadar untuk menceritakan kami kisah perjalanannya.
"Aku
yakin ia pasti akan datang, kakakmu tidak pernah melupakan janjinya,
bukan?" jawab ayah,
Ibu
tersenyum ramah seakan menyetejui jawaban ayah.
Seusai
makan malam, aku dan Mose pergi keluar, kami berniat untuk menunggu Kak Derek
datang, mungkin kali ini ia akan datang lewat laut?
Kami
berdua berbaring di pasir, memandang langit berbintang, hanya untuk menunggu
Kakak kami datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar