Sabtu, 13 Desember 2014

Surat untuk Ayah

Disaat mentari pagi naik
Adalah disaat hati ini tak dapat menerimanya lagi
Papa, ananda rindu bertemu, papa, betapa sulit hidup yang Dia berikan
Dikala hidup seakan tidak kuat diemban bebannya
Aku tulis sepatah dua kata di kertas ini

Papa, sudah hilang ditelan ombak

Papa sudah dikhalayak yang kuasa


Ajaranmu selalu mengajarkan
Tentang hidup yang penuh kasihan
Tetapi kenyataannya
Hidup selalu memainkan perasaan

Air susu dibalas air tuba
Hal yang tidak langka di dunia
Dimana segala kejahatan adalah legal
Dan kebaikan jadi cercaan

Papa, beri aku alasan untuk bertahan lagi

Sebab hati ini meronta-ronta ingin pulang

Minggu, 26 Oktober 2014

Mengapa Harga Diri Ada?

Bujang kecil menarik-narik jubahku
Ada air mengembun di kelopak matanya
Ia merengek, anak tetangga melempar batu lagi padanya
Bajunya robek, habis berkelahi katanya
Hidungnya berdarah, patah sudah tulangnya
Katanya harga dirinya diinjak-injak, dan dibuang ke kali pojok rumah.

Ah, anakku,
Tidakkah engkau tahu bapak juga sudah tidak punya,
Harga diri bapak hilang kemana?
Tertinggal di stasiun kota, atau hanyut diterjang ombak?
Manusia itu, kalau harga diri hilang, semua jadi tak berguna ya?

Selasa, 21 Oktober 2014

Aku dan Mereka

Aku tertidur, kemudian terbangun lagi. 

Melihat benang pancing yang seakan tidak akan pernah memancing seekor ikanpun.

Termanggut, kemudian aku menutup mata lagi, mencoba untuk tertidur, barang satu menit.

Dalam hati aku merenung sendiri, aku bergumam sendiri, Mungkinkah mimpiku laksana kail pancing ini? tidak ubahnya aku memancing, menunggu ikan memakan umpanku, setengah jam lamanya menunggu, namun tidak bisa kudapat juga ikan itu?

Bergumam aku pada diriku sendiri, aku mencoba untuk mengingat masa lalu, ah... masa mudaku sudah lama terlewat, kenangan-kenangan dan canda tawa konyol itu sudah jauh dibelakang, tertutup oleh debu-debu perkembangan jaman, pemikiran rumit, omelan, cercaan, dan Dokumen.

Dokumen, dokumen, ah, betapa bencinya aku mendengar kata itu.

Melirik ke belakang, aku merasa makin kehilangan dunia yang awalnya kubayangkan indah, dunia yang sepertinya akan jadi gemerlap dan penuh warna, aku menghela napas panjang ketika aku sdari bahwa aku menapaki jejak oleh orang-orang telah tentukan kepadaku.

Aku menghela napas sekali lagi, napas panjang, melelahkan, penuh rasa pasrah, dan juga kelelahan.

Tanpa sadar, aku menemukan seorang gadis duduk di sebelahku, ah, ya, dia adalah buah cintaku dengan wanita yang kucintai, sekitar 9 tahun lalu mungkin, kami mengikat janji suci dihadapan Pastur.

Seperti halnya Ayah yang lain, aku cinta pada putriku, cinta yang tulus telah kucurahkan dengan bekerja keras, seharian  bergelut dengan kerasnya hidup hanya untuk mereka.

Sedetik kemudian, aku sadar, aku berjuang untuk mereka, untuk istriku, juga untuk anakku yang amat kucintai.

Aku tidak boleh berhenti memancing, selama ada mereka yang mendukungku dari belakang, aku tidak peduli berapa lama aku harus menunggu, aku akan meraih mimpiku untuk mereka.

Rabu, 03 September 2014

cecongoran empunya blog- Java Kitchen -Balada Para Ksatria Imajina

Suatu hari saya diam sejenak, menatap layar komputer tanpa berbuat apa-apa, saya telah mendownload dan menonton habis watchlist anime saya, melanjutkan setidaknya satu-dua paragraf dari karangan saya, beraktivitas di facebook hingga notification jadi sepi, serta mendengarkan seluruh lagu yang ada di playlist saya.

Di depan layar laptop, saya terbengong, hari sudah malam, tetapi langit malam gelap perkotaan tidak pernah sudi memberikan saya cahaya bulan maupun pemandangan bintang. Kemudian entah apa yang menggerakan tangan saya untuk mencoba karya-karya saya yang lama telah saya selesaikan, beberapa adalah karya yang harusnya memiliki sequel, tetapi sanggup menyelesaikan satu buku sudah merupakan tantangan terbesar bagi saya.

The Light Story
Destiny K-1
Last Child of Gilgamesh

ya, belum dihitung dari tulisan-tulisan batal saya yang lain, ketiga seri ini adalah dunia yang akhirnya bisa saya selesaikan walau dalam kurun waktu yang terbilang terlalu lama.


The Light Story, ya, saya masih sangat ingat judul itu, sebuah judul cerita yang pertama kali saya tulis. Kala itu mungkin saya layaknya bayi yang diajari cara berjalan, saya menulis dengan kalimat yang berantakan dan sangat lucu, sehingga saya sendiri merasa malu sekaligus kagum pada diri saya yang akhirnya dapat menulis habis cerita tersebut.
Protagonist yang ada di cerita itu bernama Ethan, nama serta pembayangan tokohnya mirip sekali dengan tokoh Ethan dari game Phantasy Star yang saya mainkan di PS2 dulu sekali, ya saat itu saya merasa bahwa desain bajunya sangat keren, sehingga saya memilihnya sebagai protagonis.
cerita nya, adalah sebuah dunia yang terus berperang karena usaha seorang demon lord untuk menguasai dunia, Ethan, dimana ia menjadi 'yang terpilih' harus mengumpulkan 7 cincin elemen dan menyelamatkan dunia.
Sebagai sebuah cerita perdana, The Light Story adalah Ksatria yang membawa saya pada dunia tulis-menulis, sebuah dunia baru dimana saya akhirnya dapat mengutarakan ide-ide yang ada di kepala saya, sebuah dunia dimana saya dapat meninggalkan jejak keberadaan saya. Saya tidak akan melupakan nama itu, beserta sang Ksatria protagonist dengan baju zirah bewarna hijau zamrud yang ramah dan membawa saya kepada dunia penuh petualangan. Ksatria itu adalah Ethan.

saya yang awalnya berencana membuat sequel untuk The Light Story mengurungkan niat, karena pada akhirnya, dunia itu biarlah jadi damai untuk selama-lamanya.

Destiny K-1 Cerita ini terinspirasi dari sebuah jam saku yang saya beli sebagai suvenir di sebuah festival anime yang pertama kali saya kunjungi di UI, Destiny K-1 menceritakan tentang seorang anak yang menjadi 'penjaga takdir', orang yang mempertahankan takdir manusia agar berjalan sesuai rencana yang telah disediakan, kecelakaan, bencana, dan sebagainya adalah kehendak takdir dan bagaimana mereka harus berkonflik melawan 'tekad manusia' agar takdir tersebut dapat dibelokan dan manusia dapat memilih takdirnya sendiri.
Kirai Cattapult adalah nama untuk protagonis cerita ini, Kirai yang berarti kebencian, ia mempunyai mata emas yang menjadi alasan dia dijauhi ketika masih kecil, ia mempunyai teman perempuan bernama Kirino (asal colong dari salah satu karakter anime) yang kemudian akan jadi pacarnya.
Kirai adalah 'Assassin of Arcadia' sebuah gelar yang dimiliki karena ia adalah jelmaan dari seorang Assassin di dunia bernama Arcadia, jauh sebelum bumi ini ada.
Kirai, sang Assassin of Arcadia bersama Templar of Arcadia bertarung bersama, melindungi takdir bumi dari petaka.

Sosok Kirai yang kesepian kemudian bertemu dengan Tempar yang menjadi sahabatnya, itu memberikan senyum sendiri bagi saya, kemudian, tokoh penting lagi adalah Nenavidet, sang Antagonis dalam cerita ini yang melampiaskan kebenciannya karena kesendirian, ia menjadi adik angkat bagi Kirai, sehingga cerita ini berakhir bahagia.

Destiny, pernah dimuat oleh Komunitas Penulis Muda, sebuah halaman di media sosial Facebook dimana saya mendapatkan kritik positif.

Sosok yang gelap, tetapi dibalik kegelapan itu ada sebuah senyum hangat dan pelukan bagi orang yang dilindungi. Kirai dalam bayangan saya adalah Ksatria dengan armor biru emerald berukiran serigala di dadanya, dia sering memberikan tatapan tajam, tetapi dia bisa tersenyum dan memberikan perasaan senang.


Last Child of Gilgamesh...

masa pubertas, masa mencari jati diri dan mimpi, tertulis jelas pada karya saya yang paling emosional dalam cerita-cerita saya, Last Child of Gilgamesh menceritakan seorang remaja yang tidak ada apa-apanya, dia kemudian diketahui mempunyai garis keturunan Gilgamesh, raja dewa Mesopotamia, dan karena itu dia diberkahi kekuatan luar biasa dan takdir yang luar biasa pula, dia akan membangkitkan Gilgamesh dari kematian untuk menguasai dunia.
Dipandang sebagai sebuah ancaman oleh sebagian Gereja Vatikan dan makanan bagi kaum satanis, sang Protagonis, Lero Armando, mencari perlindungan dibawah naungan ordo Templar. Dia harus meninggalkan keluarga serta temannya agar mereka tidak terkena ancaman satanis yang mengincarnya, tentunya itu adalah hal yang sangat sulit dilakukan bagi Lero Armando yang kemudian mengubah namanya menjadi Koha Grammar.
aura cerita ini gelap dan diselimuti dengan keputusasaan, menghadapi takdir-takdir yang lebih buruk lagi, Koha harus kehilangan orang yang ia cintai ketika dia dibawah perlindungan Templar.

Koha, atau Lero. Ia adalah Ksatria dengan zirah hitam kelam yang ditempa dari besi meteor, tidak pernah berbicara, tidak pernah tersenyum, tetapi dia mempunyai sebuah kekuatan besar, kekuatan yang ia buat dari keputusasaan serta penderitaannya.

ketiga ksatria tadi telah menunjukan jalan pada saya saat ini, mereka telah menunjukan saya pada sebuah dunia yang tidak memiliki batas, sebuah dunia yang dapat dibuat dibawah secarik kertas dan segores pena, dunia yang saya kagumi dimana saya dapat melihat galaksi walaupun langit amat gelap.
Merekalah 3 ksatria yang kini berdiri berdampingan di sebuah batu karang, saling melihat ke kejauhan, membayangkan petualangan yang menanti mereka.

3 Ksatria Imajina yang telah mengukir jalan hidup saya selama ini

3 Ksatria Imajina yang telah mengukir siapa saya sebenarnya...

dan saya disini, menceritakan kisah mereka sebagai seorang penyair.  

Senin, 25 Agustus 2014

Kota Aurora

Bulan 17, tahun 1076 Alruto

3 bulan lalu aku mencoba bunuh diri dengan pergi menuju Tanah tak bertuan yang berada di ujung utara dunia ini. Sebuah tanah gersang yang dikutuk keberadaannya, pada jaman dulu kala, para petualang kurang beruntung yang menginjakan kakinya ke tanah gersang itu selalu hilang tanpa jejak. Sejak saat itu rumor yang mengatakan bahwa pulau itu terkutuk selalu menjadi tujuan orang-orang putus asa dan para pelarian untuk mengakhiri hidupnya.

Tetapi, alih-alih dicabut nyawaku aku malah bertemu dengan seorang makhluk cebol yang selalu mengenakan topeng aneh dan jubah hitam kelam, hanya aku yang mengetahui keberadaannya dan hanya aku yang dapat melihat dan berbicara dengannya.

Ada suatu saat ketika makhluk sialan ini memukul kepalaku, bukan hanya sekali, bahkan 5 kali dengan menggunakan papan dayung sampai papan tersebut patah. Tanpa sadar, ia ternyata telah membawaku mengarungi lautan selama 3 minggu lamanya, dan ketika aku sadar, kita telah berlabuh ke pantai di kota Seiverda, yang ada di benua Ta’duk, Setiap malam selalu dingin berkat angin utara yang meniupi kota itu.

Aku tidak mengerti apa yang dilakukan makhluk sialan ini, pada awalnya aku mengira bahwa dialah yang selalu mencabut nyawa para pelancong putus asa, tetapi jika benar, apa yang dia lakukan membawaku kembali ke peradaban?

Ketika kapal akhirnya menyentuh pasir daratan pantai, ia memanggilku.

“Kita sudah sampai, cepat bangun!”

Biar kujelaskan dikit bagaimana suara makhluk itu, serak, dan terdengar mencicit, jika bisa kumiripkan, suaranya sama persis seperti tikus yang dicekik ketika mendekati ajalnya.
“Apa yang kau lakukan?” dengan mata berkabut aku bangun, ada cahaya kota diatas tebing pantai ini, layaknya lentera yang bercahaya remang-remang.

“Aku membawamu kembali ke tempatmu berasal,” kata makhluk itu.

Dinginnya angin laut malam seperti mencambukiku, aku merangkak keluar dari perahu dan menginjakan kaki ke pasir basah.

“Kenapa kau membawaku kesini?”
Aku bertanya pelan. Aku marah, ingin rasanya mengeluarkan pekikan yang lebih keras, tetapi rasanya tenaga ini sudah habis.

“Ayo jalan!” ia memerintahku.
Makhluk itu berjalan mendahuluiku menuju kota kecil itu, entah mengapa, tetapi aku memutuskan untuk mengekornya, kerasukan apa aku sehingga mau-maunya diperintah makhluk menjijikan seperti ini?

Jalan makin menanjak, kota makin dekat. Aku bisa menghirup aroma harum roti panggang di perapian.

Tanpa sadar, aku sudah bediri di depan sebuah pintu.

Tok! Tok!
Suara ketokan itu bukan berasal dariku, tetapi dari makhluk hitam yang berdiri di sisi pintu.
“Ya? Siapa ya?”
Terdengar suara perempuan muda dari dalam rumah, 20? Tidak, mungkin 17 tahun…

Tiba-tiba, pintu dibuka, dan aku langsung ambruk.

Seminggu kemudian, aku menemukan diriku bekerja sebagai pembuat roti di sebuah toko roti kecil yang terletak di pesisir pantai. Aku bahagia bahwa keluarga yang menampungku cukup baik untuk menerima seorang pengembara yang menyelamatkan diri dari terjangan badai sehabis kapal karam (aku menerka cerita itu, bila aku berkata bahwa aku dari Daratan Utara, mungkin mereka akan mendepakku keluar karena aku dikutuk).

“Qiva, tolong buatkan satu Loyang roti tawar lagi,” suara gadis itu memanggil dari balik dapur.

“Baik,” aku menjawab singkat, sebuah adonan roti yang telah aku uleni dan mencampurkannya dengan ragi. Tanganku terlatih membuat roti, apalagi roti tawar, 20 tahun lalu, aku menghabiskan masa remajaku membuat roti di rumah orang tuaku.

Oven yang ada di seberang ruangan kembali mengeluarkan aroma harum roti panggang, pertanda roti sudah matang dan siap dihidangkan.

Setelah menukar roti matang dengan adonan mentah, dan memasukannya kembali ke oven, aku membawa roti-roti baru matang itu ke depan toko.

“Ini, satu Loyang roti tawar yang masih hangat, aku menyerahkan Loyang itu pada si gadis. Gina namanya, dia remaja yang hidup sebatang kara. Ditinggalkan orang tuanya dalam kecelakaan kapal laut membuatnya menghadapi dunia sendirian, dia terus menjaga toko roti orang tuanya tetap hidup, karena inilah satu-satunya peninggalan orang tuanya.

“Terima kasih, kerjamu bagus sekali , Qiva,” serunya, setelah menyerahkan roti tersebut pada seorang wanita tua, dia mengajakku istirahat.

Omong-omong, Qiva, aku mengarang nama itu karena aku telah membuang nama lamaku. Tidak ada nama untuk orang mati,
Ya, tidak ada nama untuk orang mati.
Tidak ada nama untuk orang yang dilupakan, tidak ada nama untuk orang yang tak dibuang.
Tidak ada nama untukku.



Gina menuangkan teh hangat untukku, kemudian untuk dirinya sendiri.
Ia tersenyum padaku, kemudian menceritakan banyak hal.
Tentang kota ini, kota pelabuhan kecil yang tidak banyak didatangi orang, walaupun begitu ia merasa senang tinggal disini, orangnya ramah-ramah, mereka selalu membantu Gina saat ia membutuhkan, dan sebagai gantinya, Gina menjual roti-rotinya dengan harga yang sangat murah.
Roti buatan Gina sangat enak, harum dan hangat, seakan Gina telah meniupkan roh ke dalam makanan itu.

Aku mendengarkan ceritanya dari awal sampai akhir, Gina selalu tersenyum di setiap saat, seakan tidak ada satupun masalah di dunia ini yang dapat mengusiknya.


“Hei cebol, apa yang terus kau tertawakan?”
Matahari sudah terbenam, bintang sudah mulai nampak dari langit timur. Senja hari ini di tepi pantai kuhabiskan meladeni si cebol ini yang katanya ‘ingin bercakap-cakap’ Tidak ada yang sepatah katapun keluar dari mulut tikusnya selain tertawaan kecil, mengherankan, rencana apa yang disembunyikan bajingan tengik ini?

“Jiva? Qiva? Mana namamu yang asli goblok?”

“Aku tidak punya nama, terserah aku siapa diriku.” Jawabku ketus, Si Cebol itu berjalan mendahuluiku, ia melangkah mendekat ke air.

“Sebenarnya kamu tahu siapa aku?” katanya.

“Siapa? Siapa kamu?” aku terdiam,

Benar juga, aku tidak pernah mengetahui apaan si bajingan ini sampai aku datang ke Pulau Utara itu, awalnya aku pikir mungkin makhluk ini adalah malaikat pencabut nyawa atau semacamnya, ternyata ia hanya iblis pengganggu belaka.

“Memangnya siapa kamu?” jawabku agak menantang.

Tiba-tiba aku merasakan kegelapan menyelimuti pantai, kegelapan itu amat gelap, hingga menutupi bintang. Aku tidak tahu apakah kegelapan yang menelan bintang, atau aku yang telah ditelannya. Tidak ada suara desiran ombak, tidak ada suara angin pantai yang kencang, semuanya terasa hampa, hanya ada kegelapan.

Dan di kegelapan itu, aku melihat seorang laki-laki.
Laki-laki itu tegap dengan badan yang cukup besar, rambutnya hitam dipotong pendek sama rata, matanya terlihat malas, benar-benar sosok yang membosankan.
Orang itu aku.

“Aku adalah kau.” Katanya


Didalam kegelapan ia berbicara padaku, tangannya memegang sebuah topeng. Topeng milik si cebol tadi.

Perlahan, kegelapan mulai menghilang, bintang-bintang kembali bersinar, ombak kembali berdesir, angin kembali berhembus.
Tetapi pertanyaan yang tersisa dibenakku.

“Kau adalah aku?”

“Aku adalah dirimu yang lain Jiva.” Seru si cebol itu. “Aku adalah Kejujuran.” Katanya.

Kejujuran? Diriku yang lain? Jelaskan padaku sekarang!

“Orang-orang datang ke Pulau Utara hanya untuk bertemu dengan cerminan dirinya, mereka bertemu dirinya yang lain, tidak terima, mereka bergelut dengannya, karena itulah mereka meninggal kehabisan tenaga.”

“Tetapi aku melihat perbedaan dirimu, Jiva,” katanya.

Aku tidak bisa mengatakan dia manusia, tetapi… ia mirip sekali denganku, lebih dari itu, dia adalah aku. Percakapan yang cukup gila ini, sekarang aku mengerti…

“Lantas kenapa kau tidak segera membunuhku?”

“Oh, jangan salahkan aku bila kau masih hidup sampai sekarang Jiva, salahkan saja sifat ‘terlalu sabar’ mu itu, salahkan sifat pengecutmu, dan salahkan pula keberanianmu. Aku tahu Jiva, jauh di lubuk hatimu yang paling dalam, kamu tidak ingin mati. Kamu ingin hidup.”
Mendengar ceramahnya aku terdiam.

Yang benar saja? Aku datang jauh-jauh dari keputus-asaan dan kembali lagi karena takut akan kematian? Hebat, hebat sekali.

“Kau berkata seperti itu, tapi kau tidak akan mati sekarang, Jiva, tidak saat ini, tidak besok, setidaknya, tidak dalam waktu dekat ini,”

“JANGAN BERCANDA!” aku berteriak, aku berlari mencengkeram kerahnya, badannya yang telah kembali makhluk cebol kuangkat dan kulempar.
Ini pertama kalinya aku berhasil menyentuhnya.

“Jangan besar kepala Jiva!” teriaknya, ia menunjukan jarinya ke arah kota

Ketika aku berbalik, aku melihat cahaya kemerahan, api! Kemudian teriakan! Aku tidak percaya pada apa yang terjadi, aku segera berlari, berlari menuju kota itu, berlari menuju rumah Gina.
Orang-orang saling berteriak dan berlarian, ini bukan kebakaran biasa. Derap kuda diiringi dengan suara sabetan pedang. Aku tahu, aku kerap mendengar kelompok bandit pengelana yang mebentuk sebuah suku barbar yang selalu menjarah kota-kota, kehadiran mereka tidak pernah diduga, bagaikan hewan predator, mereka selalu membunuh dan menjarah, jika sebuah kota diserang bisa dipastikan mereka tidak akan bisa bertahan esok harinya.

“Gina! Gina!”

Langkahku semakin mendekatkanku ke sebuah toko roti itu, toko roti yang disinari oleh merahnya warna api, dihadapannya ada Gina, ia berlutut dengan air mata berderai di sekeliling pipinya, disampingnya ada seorang bandit dengan badan gemuk menyeramkan membawa sebuah golok.

“Hentikan!” teriakku

Tetapi sudah terlambat, besi itu telah membelah leher sang gadis, dalam sekejap mata, kepala itu berguling di tanah, meneteskan darah segar yang menjadi genangan.
Menyadari ada orang yang mengawasi kematian sang mangsa, si bandit menyeringai, goloknya kembali terangkat, ia berlari untuk menyerang lelaki yang tak bisa bangun dari shyok yang baru menimpanya.

Akan tetapi, belum setengah jalan, bandit itu terjatuh, ia menjerit karena rasa sakit yang amat sangat dari kakinya, ternyata kakinya telah terpotong, entah dengan apa. Kemudian menyusul dengan itu, tangan kanan dan kirinya juga ikut terpotong, dalam tangis kesakitannya, bandit itu meninggal kehabisan darah.

Aku hanya bisa diam, diam dan melihat bagaimana bandit itu mati, merasakan ketidak berdayaanku, aku pingsan.

Esok paginya, aku terbangun di tengah kota yang sudah menjadi puing-puing, mayat bergelimpangan dimana-mana, tidak ada rakyat yang selamat, dan para bandit sudah kembali ke laut mereka.
Diam tanpa bisa melakukan apa-apa, aku hanya menatap jenazah Gina yang sedang diperebutkan oleh para gagak.
“Tidak, tidak tidak!” teriakku, aku putus asa, aku kesal, aku sedih.

“Hei!”
Si cebol memukul kepalaku dari belakang

“Ayo kita lanjutkan perjalanan.”



malam itu, sebuah kota kecil yang terkenal indah akan cahaya Auroranya, terbakar habis, hanya menyisakan abu dan asap. Angin utara menghebuskan angin dingin menusuk, tidak ada kehangatan disana.

tidak ada lagi.

Selasa, 05 Agustus 2014

Sekali Dalam Seumur Hidup

illust by: iy tujiki




Sekali dalam seumur hidup, aku ingin melihat langit malam yang penuh bintang.
Aku lahir di tanah perkotaan besar yang tiap hari selalu ribut dan berasap, ketika malam tiba, cahaya-cahaya rumah dan gedung meninggalkan siluet hitam kelam di angkasa.
langit yang gelap, langit yang hitam, bukan hitam kelabu, bukan juga hitam cerah, melainkan hitam yang hampa. Kosong tanpa warna, kosong tanpa cahaya yang mengisinya.

Jangankan ke Boscha, aku bahkan tidak pernah menikmati indahnya pertunjukan bintang di planetarium,


Sekali dalam seumur hidup aku ingin berada di sebuah pulau
pulau yang jauh, pulau yang tenang
pulau dimana aku bisa menikmati keberadaan diriku, menikmati eksistensi diriku, tanpa diusik siapapun

Dimana aku bisa melihat bintang
Dimana aku bisa menyentuh galaksi

dan untuk pengalaman sekali dalam seumur hidup itu

aku ingin seseorang yang bisa kuajak berbagi pemandangan malam itu

langit malam yang hitam elegan, namun terang dengan cahaya-cahaya galaksi.





Minggu, 03 Agustus 2014

Selalu Perhatikan Label Sebelum Mengkonsumsi Barang!

Aku menyandarkan punggungku seusai pelajaran sekolah, rasanya pegal, setelah melakukan peregangan singkat aku duduk kembali dan mengeluarkan buku dari tas ku.
Jam Istirahat dan jam kosong adalah waktu yang menyenangkan sejak aku menemukan buku ini, sejujurnya aku bukan orang yang sangat suka membaca, hanya saja, ketika aku menemukan bacaan yang benar-benar menarik mintku aku bisa langsung berkutat dengan hal itu tanpa mempedulikan apapun.

Dan dalam kasus ini, buku novel fiksi seperti ini memang selalu jadi pilihan terbaik, seakan menemukan berlian yang terkubur di tumpukan jerami, begitu membaca chapter pertamanya aku sudah bisa dibawa masuk ke dunia dalam buku tersebut. Buku ini berkisah tentang petualangan fantasi yang terjadi di sebuah kerajaan antah-berantah. Plot utama ceritanya simpel, bagaimana sekelompok orang berjuang menyelamatkan sebuah kerajaan dari seorang raja iblis, tetapi hal menarik adalah bagaimana ceritanya berjalan, penuturan, komedinya, serta aksinya yang bisa membuatku penasaran mengikuti cerita tersebut sampai akhir.

"Oy, ganti kelas!"

seorang cowok mengambil buku yang sedang asyiknya aku baca.

"Lah? bukanya baru aja mulai istirahat?"

"Pale lu mulai istirahat!? udah selesai 5 menit tadi o'on!"

Aku menyadari kalau beberapa temanku mulai meninggalkan kelas.

"Emang kelas apa kita habis?"

"Simulasi Mobile Suit, ayo buruan!"

"Oh, oke!"


---------------------------------------------------------------------------------------


Aku baru sadar soal Kelas Simulasi Mobile Suit ketika aku sudah masuk kokpit Mobile Suit dan mulai menyalakan sistem engine nya.

ya, aku baru sadar ternyata sekolah di Indonesia pun punya kelas khusus untuk mengendalikan Mecha tempur, lebih anehnya lagi, aku tahu apa yang mesti kulakukan, bagaimana caranya mengendalikan booster, bermanuver, menggerakan tangan dan kaki, juga menembak.

Sayangnya aku tidak ahli dalam menembak, sehingga selalu dapat omelan dari instruktor.

---------------------------------------------------------------------------------------

"Ah... Akhirnya istirahat lagi..." kataku sambil meregangkan punggung.

Tanpa pikir panjang soal kelas simulasi Mobile Suit tadi, aku kembali bersandar dan mengeluarkan novel yang sama.

"Oy jangan duduk aja! kita langsung kelas habis ini!"

"Eh? Bukanya sekarang istirahat kedua?"

"Masih satu pelajaran lagi, ayo!"

"Mang pelajaran apa?"

"Pelajaran Gaming!"

-------------------------------------------------------------------------------------

oke, ini pelajaran paling nonsense dalam sejarah pendidikan indonesia, selama kamu bukan sekolah di sekolah spesial yang memang menjurus ke gaming, tidak mungkin ada pelajaran dimana murid bisa duduk dan memilih tipe game yang mereka mainkan, ada game MOBA seperti DOTA, MMORPG, MMOFPS dan game-game kompetitif lainnya

dan berhubung skill game saya tidak sebagus teman-teman saya, jadi saya menikmati rasanya jadi papan tembakan di salah satu MMOPFPS yang disediakan.

-----------------------------------------------------------------------------------

 Oke makin lama ini makin ngga masuk akal

Mau tahu pelajaran sehabis istirahat kedua? Pelajaran Alchemist.

Dan kali ini kami praktek mengubah logam menjadi emas, sayangnya kami hanya boleh membuat emas palsu karena undang-undang alchemist menyatakan bahwa menduplikasi emas tanpa persetujuan dewan akan menyebabkan ketidak seimbangan ekonomi.

Tunggu, UU macam apa yang mengatur ilmu Alchemist?

-----------------------------------------------------------------------------------

Aku menghela napas sembari melangkahkan kaki menuju asrama, sudah terlalu banyak kejadian aneh selama hari ini, aku sendiri tidak mengerti.

Apakah selama ini saya tertidur dan ini hanyalah mimpi?
Apa justru kenyataan yang selama ini saya tahu adalah mimpi dan ini adalah kenyataan sebenarnya?
atau, apakah ini hanya salah satu lelucon sekolah? (yang tak masuk akal)

Karena terlalu serius berpikir, aku tersandung dan novel yang kubawa terjatuh. Ketika aku mengambilnya kembali aku sadar bahwa ada label aneh yang menempel di cover belakang buku.



Sore itu adalah sore yang cerah, angin berhembus sepoi-sepoi dan sebuah Mobile Suit meluncur di angkasa, meninggalkan jejak asap yang meninggalkan kesan sebuah langit musim panas

aku masih terdiam melihat label itu.

'Perhatian, membaca buku ini bisa menyebabkan anda terjebak di dunia delusi, hubungi nomor dibawah ini bila anda ingin keluar secepatnya.'








"Siapa juga yang ingin keluar?"

Senin, 28 Juli 2014

Laut yang Berkabut

gasp

maksudnya ini suara tarikan napas tiba-tiba.
mengerti kan? maksudnya saat kau sedang tidur, kemudian kau mengalami mimpi buruk, secara tiba-tiba kau menarik napas dan terbangun dengan keringat dingin?

ya, hal itu sedang terjadi padaku saat ini.

"Oy? sudah bangun? gimana tidurmu? nyenyak?"
suara itu masih menjengkelkan, aku menegaskan kembali bahwa suara itu seperti curut yang mencicit ketika tubuhnya diinjak

"Apa pedulimu cebol?" aku meneriaki makhluk itu sekali lagi, jubah hitam yang dipakainya selalu menutupi tubuhnya yang semakin lama semakin mengecil, aku yakin pertama kali bertemu dengannya dia masih tinggi, kira-kira sama sepertiku, dia selalu memakai topeng yang mengerikan.

"Kita di laut." jawabnya

dihadapanku terbentang luas air yang tiada habisnya, akan tetapi tidak sampai di ujung cakrawala, kabut menutupi laut ini.
ini adalah laut paling suram yang pernah kulihat.

"Kita akan meninggalkan pulau ini," kata cebol itu sekali lagi padaku.
"Kita akan kembali ke Desa Cqirel, di timur laut sana. Kemudian menumpang kapal sampai ke Ibukota. Bila beruntung, mungkin kita bisa ke Kota para Elf untuk bertemu teman-teman lamamu."

dia berkata sambil terus menyiapkan bekal berupa ikan kering, rumput, serta berbotol-botol air dan memasukannya kedalam sampan.

"Memang siapa kamu?" aku meneriakinya.

"Aku sudah berjalan sampai ke pulau ini! sekarang kau mau kita kembali!?"
aku meneriakinya lagi.
terus...
dan terus kuteriaki.


Mengapa aku datang ke pulau ini?

Mengapa?...


"HEI KAU DENGAR AKU TIDAK!?"

DUAK!!

benda keras menghantam sisi kepalaku, cukup keras sampai sepertinya benda itu telah patah menjadi dua.

dengan mata yang kabur akibat pukulan dayung tersebut, aku lihat lagi si cebol itu, memegang sisa-sisa dayung dengan kedua tangannya.

"Kamu ini manusia yang bayak omong, pengecut, bebal pula ya."
"Datang kesini untuk mati. tapi sepertinya kamu terlalu menyedihkan untuk itu."
"Sana, mulai lagi perjalanannmu, kalau kau tidak berubah kali ini, akan kumangsa jiwamu."


dan dengan satu pukulan lagi, aku ambruk kedalam sampan tersebut.

Selasa, 15 Juli 2014

Perjalanan di Tanah yang Selalu Hujan

"Jadi gimana, Jiva?"

Aku mendengar sosok dihadapanku memulai pembicaraan, sembari menikmati roti keras kami di tengah padang gurun yang menitikan butiran air hujan. Nada pertanyaan itu terdengar menjengkelkan - seperti yang selalu dia lakukan.

"Kapok aku."

"Yakin kapok?"

Suara itu kembali menggema di gendang telingaku, makhluk sialan ini, tanpa sedikitpun menurunkan topeng di wajahnya, ia menyelipkan potongan-potongan roti keras lewat dagu dari bawah topengnya, sesaat kemudian terdengar suara orang mengunyah dan mengecap.

"Kau menjijikan." komentarku

"Lebih menjijikan mana dibanding orang yang menghabiskan koin emas untuk peralatan ritual tak berguna? kemana lagi koin perak yang hilang diraib penipu di kota Fargard?"
"Oh, ya, itu kau Jiva, dan sebagai tambahan, kau bukan hanya menjijikan, tapi kau juga dungu dan naif."

"Aku membencimu,"

ia terkekeh, "Memang seharusnya begitu, Jiva!"

Kami melanjutkan makan malam itu dengan sunyi antar satu-sama lain. Setelah kejadian seminggu lalu, aku merasa bisa mempercayai makhluk kecil ini, cebol kegelapan yang muncul entah darimana, tidak bisa dipukul, dan terus mengikuti diriku, menghujaniku dengan hal-hal yang tak ingin kudengar lagi.

 Sampai saat ini aku tak menyangka akan berjalan di tempat ini, padahal kudengar hanya orang kesurupan, orang gila, dan orang putus asa yang akan datang ke 'Tanah di Ujung Dunia' sebutan orang-orang selain 'Daratan yang Selalu Hujan'

tidak ada daratan yang dapat ditemui setelah melewati pulau ini, hanya akan ada laut. Beberapa orang bahkan percaya kalau kau berlayar lebih jauh dari itu, maka kau akan bertemu Pinggiran Dunia dan akan jatuh ke langit.

"Orang-orang pintar di dunia ini menganggap dunia mempunyai pinggiran."

suara serak mencicit yang muncul dari mulut makhluk itu membuatku tersentak.

"Tetapi apakah mampu seorang yang tanpa latar belakang, tanpa pendidikan, dan tanpa siapapun yang mengenalnya tiba-tiba berteriak di hadapan mereka, 'Dunia itu bulat!'"

Aku bisa merasakan bahwa dia menatapku. Menatapku seakan ia meminta komentar dari kata-katanya barusan.

"Kau bertanya pertanyaan yang konyol, sudah pasti ia akan didepak dari tempat itu, dan dia akan disebut orang gila."

Ia terdiam, ada jeda waktu cukup lama sampai ia tertawa dengan nada aneh.

heh.... heh.... heh....

"Orang pintar memang selalu dipandang orang bodoh ya?"

"Huh?"

"Bila Dunia itu datar, berarti akan ada batasan dari segala hal, tetapi, apakah pernah kamu lihat, Jiva, dunia tanpa batasan dimana semua kemungkinan adalah infinite?"
"Apakah kamu tidak mau beranggapan Jiva, bahwa ada kemungkinan lain di atas langit sana, seperti keberadaan makhluk hidup di bintang nun jauh disana?"

Aku terdiam, pernyataan si cebol hitam ini entah bagaimana cukup menarik, walaupun ada omong kosong yang tidak aku setujui disana.

"Aku pernah berpikir seperti itu," jawabku, "Tetapi aku sadar bahwa hal itu tidak akan mendatangkan keuntungan materiil, maka aku mulai berpikir realistis setelah itu,"

"Ah, manusia memang bebal! uang ini-itu! barang ini-itu!" cebol itu sekali lagi mengumpat, kamudian memasukan sisa besar biskuit keras ke mulutnya secara paksa dan membuang bungkusnya ke perapian.

"Hei, aku hanya mencoba berpikir realistis," protesku

"Ketika otak bebalmu sudah bisa mengartikan 'realistis'  dengan benar, baru kau kembali berpikir, dasa dungu kepala batu!"

Sudahlah, marahpun tidak akan ada gunanya pada makhluk satu ini.

Ia mulai menghujaniku dengan hinaan dan caci-maki, tetapi sudahlah, memang itu tugas makhluk jahanam ini, aku sudah terbiasa dengannya.


Kami menghabiskan malam itu seperti biasa, ditemani rintik hujan, dan mengamati bintang.
Ah, sudah berapa lama aku tidak mengamati bintang? sepertinya sudah lama aku tidak membayangkan luar angkasa itu, sebuah dunia penuh bintang dimana galaksi terlihat seperti kabut bercahaya, dimana kau bisa membayangkan duniamu sendiri dan dimana... dimana seperti yang cebol itu bilang.

Dunia tanpa batas...

apakah benar itu ada, dunia yang tanpa batas itu?

pantaskah kucari, dunia tanpa batas yang dia katakan?

Aku bangkit, kemudian melihat di kejauhan langit.

"Apakah kau disana?"

"Tolong katakan padaku.... dapatkah aku mencapai dunia itu?"

Selasa, 08 Juli 2014

Circus Monster

Tirai terangkat,
Sorak-sorai kembali membahana.
Diluar sana, diluar kandang besi yang menyekapku,
sudah menunggu orang-orang yang menunggu untuk melihat.

Seorang Gadis Monster, seorang gadis iblis
Gadis aneh dengan tanduk sapi di kepalanya
Walaupun wajahnya cantik menawan,
semua orang selalu saja menunjuk tanduk di kepalanya,
Menunjuk-nunjuk sambil meneriakan satu kata yang sama.

"Iblis!"

Seorang Gadis yang cantik menawan
engkau akan menyangka bahwa ia titisan dewi
tetapi dengan tanduk itu

siapa yang akan peduli?

Hari ini pun sang gadis menjalani harinya

dalam kandang penuh olokan dari orang kaya

yang membayar untuk menontonnya.


(Based on "Circus Monster" song by Vocaloid)

Minggu, 06 Juli 2014

Daratan yang selalu hujan

Jadi disinilah aku kembali berdiri,
daratan kelabu, berbatu, dan hanya sedikit tanaman yang tumbuh.
kehidupan menjauhi tanah ini
tetes-tetes air menjatuhi bumi daratan ini
malaikat menangisi tanah ini
Tuhan berkeringat berusaha terus memperbaikinya
tetapi tidak sejengkalpun pohon dapat tumbuh dan berdiri tegak

Aku berdiri terpaku, melihat di kejauhan tanpa ada yang pantas ditunggu, yang kulihat bukanlah harapan, yang kulihat adalah bukit-bukit kering, sekering hati ini, sekering hatimu, sekering harapan mereka yang tidak percaya.

"Apa yang kau nanti?" sebuah suara mengerang di sampingku.
jujur, aku bahkan tidak ingat bahwa dia ada disini.
sosok bertopeng itu sedikit lebih pendek dariku, ia mengenakan jubah hitam kelam, satu-satunya hal yang memisahkan dirinya dengan kelabu langit adalah topeng yang dipakainya.
Topeng putih dengan ukiran bibir yang merah bagaikan darah, sebuah kombinasi yang sempurna untuk menyembunyikan rupa buruk yang ada di balik topeng itu.

"Kau menanti harapan?" lanjut suara itu pelan, bagaikan suara tikus mencicit penuh ejek dihadapan kucing tua yang lemah berjalan.

"Apa ada harapan menantiku disana?" aku menjawabnya sambil menyisakan jeda yang agak panjang.
parasol hitam ini entah kenapa semakin berat, ataukah lenganku yang mulai lelah? aku tidak tahu.
sesekali, aku mengganti tangan kiri dengan tangan kanan, bergantian mempertahankan parasol hitam ini untuk tetap memayungiku dari terpaan hujan yang tidak ada habisnya.

sesaat kemudian dia tertawa.
kali ini jelas sekali dia mengejekku.

"Jiva," ia memanggilku
padahal itu bukan namaku,

"Bagi anak manusia, kehilangan harapan itu akhir dari segalanya," ia terkekeh lagi,
"Contohnya itu ya kamu,"

Aku mengerang kesal, kuayunkan tanganku untuk menempelengnya, tetapi ia hilang, lepas menjadi kabut hitam dengan bau gosong.
kemudian dia muncul di samping kananku, tertawa terbahak-bahak atas usahaku yang sia-sia.

Aku tidak mencoba untuk memukulnya lagi, karena itu akan sia-sia, terakhir aku mencoba menangkapnya, bahkan menusuknya dengan belati, dia terus menghilang dibalik bayangan itu. Makhluk sial yang entah muncul darimana, selalu saja membisikan kata-kata kotor dan hinaan kepadaku.

"Seberapa lama sih kamu sudah kehilangan Kirana?"
"Kirana?"
"Halah jangan pura-pura ngga tahu kamu!"

"Siapa heh yang buat lagu tentang Gadis Kecil itu?
Gadis yang bersayap matahari, menangis di kursi taman...
Siapa yang dengan senang hati mendongengkannya, membuatkannya lagu seindah itu kemudian menemaninya hingga ia terbang kembali?
Oh, kamu jangan pura-pura tidak tahu, Jiva, Bidadari yang kau temui itu, ya dia adalah Bidadari-mu, Kirana namanya, seperti namanya, ia anggun, bercahaya, dan cantik jelita,"

"Dia sudah tumbuh dewasa, aku percaya dia kini mencari kebahagiaan di angkasa sana,"

"KAMU GOBLOK APA TOLOL HAH!?"

Teriakan makhluk itu membuatku terlonjak, ia berteriak, marah, tetapi kemudian, dia tertawa, tawanya terbahak dan keras.
"Dasar yang namanya manusia goblok semua! telmi semua! tolol semua! ngga ada namanya perasa! kalian terlalu mengandalkan otak sama otot! nurani...! nurani itu dipakailah, Jiva!!" ia menunjuk-nunjuk dadaku seperti ada yang salah disana.

"Jangan sampai nanti kamu bilang 'nurani' itu hanya kesadaran otak, bla bla bla... hormon ini, hormon itu, bla bla bla... sedikit-sedikit DNA ini, DNA itu..."
"Kalian manusia cuman mau cari luarnya saja ya!? tidak mau tahu didalam jiwa bengis nan tololnya kalian itu, ada permata berharga yang Sang Hyang Widhi tanamkan untuk kebahagiaan kalian!"
"Kalau kalian berpikir ini omong kosong tentang pengharapan palsu, yasudahlah kalian para orang-orang bebal berpikir demikian! ditawarkan air mineral, kalian pilih air got, kalau mau menderita, menderita saja sana!"

Ia menarik nafasnya, seakan akhirnya beban kata- kata yang ia simpan telah keluar.
"Kirana itu bukan macam perempuan yang biasa kau sapa, Jiva."
"Kirana itu bukan perempuan fana yang bisa kau gengam, ataupun engkau setubuhi dengan otak lumutanmu itu! bukan!"
"Coba, siapa yang membuat lagu Gadis Kecil itu?"
"Lagu yang jauh dari sempurna, tetapi memiliki nada ketika membuatnya, lagu yang jauh dari lagu-lagu para penyair, tetapi jiwa ketika sang pembuatnya - kau sendiri, menyanyikannya, membayangkan rupa Gadis Kecil sembari membayangkan nada-nada yang mungkin cocok untuk dinyanyikan."

"Itu..."

"Apa seorang manusia rela melakukan sedemikian rupa untuk suatu hal yang tak fana?"

Aku terdiam mematung, kata-kata makhluk ini, semuanya jelas, seakan menusuk nuraniku, memaksanya untuk bangkit.

"Kau telah berjuang 2 tahun ini dalam tubuh manusiamu, tetapi saatnya untuk kembali, Jiva." ia mendekatkan topengnya pada wajahku, saking dekatnya ia sampai aku bisa melihat matanya yang ada di balik topeng tersebut.
Mata coklat keemasan
Seperti mataku.

Disini, di daratan kelabu yang selalu turun hujan,
aku memandang pada bukit kering kerontang di kejauhan.
Ini mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi aku melihat cahaya sayap Kirana jauh di kaki langit.

Rabu, 25 Juni 2014

Valthirian Arc - Welcome to The School!

Jauh dibalik pegunungan Cyandel dimana para elf tinggal
Menembus kegelapan misterius hutan Diata

Dan melintasi lautan luas Alkeian

Tersebutlah sebuah pulau kecil dengan penduduknya yang padat.

Menurut sejarah, pulau tersebut dulunya adalah sebuah kerajaan, namun kerajaan tersebut hilang ketika kerajaan-kerajaan besar membentuk sebuah aliansi baru, secara otomatis, kerajaan kecil tersebut bergabung dengan aliansi. 

Sebuah kastil tak berpenghuni di tengah pulau adalah bukti sejarah yang telah lampau, dikelilingi oleh kota-kota dengan penduduknya yang maju.

Tetapi apakah kastil tersebut hanya akan berdiri sebagai bukti sejarah?

atau adakah jiwa lain yang akan mengisi kekosongan kastil ini?

yang jelas, semuanya berubah ketika orang-orang utusan istana tiba di kastil tua tersebut.

***

Sebuah kereta kuda melaju di tengah jalan setapak yang menanjak, jalan berbatu yang sepi dilalui orang. Penduduk sekitar sini memang terkenal dengan rumor mereka, terutama tentang kastil itu.
Dulunya, kastil itu milik keluarga kerajaan bernama Fleur der Umnaid, penguasa lokal tiga ratus tahun lalu, jauh sebelum Aliansi dibentuk oleh kerajaan Gabrielle, Michaela, dan Rafaela.
Mereka percaya bahwa keluarga kerajaan Fleur der Umnaid bergabung dengan Aliansi karena suatu ancaman. Sang kepala keluarga, si Raja, menyatakan bahwa walau dia jatuh pada kekuasaan Aliansi, tetapi kelak dia akan membangun sebuah kerajaan yang lebih besar, yang lebih kuat, sehingga dia akan menguasai negara-negara aliansi sendiri.
Kemudian, setelah mengatakan hal tersebut keluarga Fleur de Umnaid dibantai pada malam itu juga.

"Ini dia, sir, ma'm, kastil der Umnaid, maaf aku hanya bisa mengantar kalian sampai sini, penduduk sekitar sangat percaya mitos, dan bila mereka tahu aku mendekati kastil tersebut, bisa-bisa aku dijauhi mereka."

Seorang lelaki keluar dari dalam kereta kuda. Lelaki itu tak tampan, tetapi badannya besar, tatapan matanya tajam, dan ia kelihatan galak.
Ia memandang sebuah bangunan di hadapannya, tembok raksasa yang mengitari sebuah bangunan kastil di dalamnya.
"Tidak ada yang mengatakan kalau bangunan ini punya benteng," seru lelaki tersebut.
"Benteng ini dibangun pada pertahanan terhadap Aliansi," seru seorang perempuan, dia kelihatan tidak lebih tua dari lelaki tadi, parasnya cantik, tetapi matanya selalu menatap serius dengan kacamatanya.
Satu orang lagi keluar, kali ini seorang pemuda berumur 20 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di sekolah militer, mereka semua mengenakan jubah hijau bersih berlambang kerajaan yang menutupi seluruh pakaian serta tubuh mereka.

Mereka menghabiskan waktu mengelilingi kastil tersebut, memang benar, kastil itupun sudah hampir hancur dengan tembok yang runtuh, ruangan yang rusak, pohon yang layu, serta masalah-masalah lainnya.

seusai berkeliling, mereka kembali ke ruang tengah kastil untuk saling berdiskusi.

"Bagaimana, Kepala Sekolah?" perempuan itu bertanya pada lelaki berbadan besar.
"Jangan panggil aku Kepala Sekolah, Jeanne, aku belum menjadi Kepala Sekolah sungguhan,"
"Tinggal masalah waktu," jawab Jeanne, "Bagaimana menurutmu, Laurent?"
"Menurutku semua masalah ini bisa diselesaikan dengan bantuan Kayla dan sihir milik Eve."
"Kau benar," tukas Jeanne,
"Jadi bagaimana, Kepala Sekolah?"
Lelaki yang terus menerus dipanggil kepala sekolah menatap tajam pada mereka berdua, kemudian, dia melengos,
"Panggil Kayla dan Eve secepatnya, sekolah ini harus segera siap dalam waktu 3 bulan untuk angkatan pertama kita."
Jeanne mengangguk, ia pergi keluar dan mengeluarkan secarik surat.
dengan tangannya, Jeanne membentuk kertas tersebut menjadi origami burung, ia menaruh burung origami tersebut di telapak tangannya, melantunkan mantra sihir, dan burung kertas tersebut terbang ke angkasa.

***

3 bulan kemudian...


"Wah..." Gadis itu terpana ketika ia pertama kali keluar dari kereta kuda tersebut, dihadapan kami, berdiri sebuah gerbang dengan kastil sekolahnya yang cerah dan elegan, persis seperti akademi sihir yang selalu kami baca di buku cerita saat kami kecil.

"Tom lihat! lihat!" gadis di hadapanku menunjuk-nunjuk gedung kastil tersebut,

Tifial de Union

Akademi sihir yang baru saja berdiri oleh perintah raja Michael 3 bulan lalu.
"Kerajaan Michaella terkenal dengan para mage dan pendidikannya yang paling maju, tidak heran mereka butuh banyak sekolah sihir untuk menampung siswa, yah, tidak hanya para penyihir yang bersekolah di sekolah sihir, Ksatria dan Prajurit juga ditempa di tempat yang sama."

"Dengan kata lain, ini sekolah untuk para pahlawan bukan?"

Sebuah suara mengagetkanku.
Seorang lelaki berambut putih dengan pedang bersandin di punggungnya berdiri di hadapanku.

"Maaf mengganggu kata-katamu, tapi kau menghalangi jalan," kata lelaki tersebut.
"Oh, maaf." aku segera menyingkir dan mempersilahkan dia lewat.
"Cukup aneh bukan? untuk sekolah yang baru dibuka, hanya ada sedikit murid yang datang?"
lelaki tersebut menggotong sebuah kotak besar dengan tas kulitnya yang ia bawa di kanan-kiri bahunya yang berotot.

Aku menoleh ke belakang, memperhatikan murid-murid yang berada satu angkatan denganku.
Teman masa kecilku, Anete Axylia
Lelaki berotot dengan cita-citanya sebagai ksatria, Bixon Lorelei
Dan seorang gadis alchemist pendiam berambut kuning emas, Aya Grimoire.

"Aku kira hal ini cukup normal karena ini satu-satunya sekolah yang tersisa untuk kita, karena dari 100 akademi sihir wilayah barat, hanya sekolah ini yang tersisa untuk menampung kita."
Bixon menggotong kotaknya yang terakhir, dan menumpuknya di sisi jalan.
"Oke, ini barangku yang terakhir," katanya. "Hei Aya! ayo keluar! kau menghabiskan saat-saat yang menggembirakan."

Seorang gadis cilik berambut pirang bak emas keluar dari kereta kuda.
"Kak, bisakah kita tidak membicarakan ini lagi?" seru gadis itu sembari keluar dengan enggan.
"Kau sudah berjanji padaku kalau kau masuk sekolah sihir, berarti kau harus aktif untuk keluar, sekarang ayo ambil barang-barangmu!"

Seorang perempuan berambut merah datang dengan tumpukan kertas di tangannya, diikuti dengan itu, datang pula seorang perempuan penempa besi, gadis cantik dengan pakaian suster, dan seorang pemuda dengan armor Scout.

"Selamat datang di Tifial de Union, sekolah bagi para pahlawan dan para cendikiawan, kami dengan hormat menyambut kalian, angkatan pertama sekolah ini, semoga dengan kerja sama kalian, kita bisa menjadi suatu kesatuan yang hebat!"

 Kami terdiam saat mereka menyambut kami, entah apa yang akan terjadi pada hidupku setelah masuk sekolah ini, aku ingin cepat melihat apa yang akan terjadi esok hari.


 

Senin, 12 Mei 2014

Kokoro ini lelah

Hei pembaca, walau tidak ada satupun yang membaca isi blog ini,
aku senang setidaknya ini adalah blog yang tersembunyi dibalik rimbunan blog-blog yang jauh lebih berkualitas, sehingga tidak ada orang yang mencela isi blog ini, dan mungkin menghinaku lewat internet layaknya cyber-bullying yang kerap terjadi.

hari ini aku sakit demam, sejujurnya sakitnya disebabkan karena kenggananku akan sekolah. Sekolahku berasrama dan merupakan sekolah bergengsi di Cikarang, dibilang bergengsi pun aku sebenarnya tidak mau bersekolah disitu, serius, aku tidak suka dikekang 24 jam dalam kamar sempit berisi 4 orang, aku lelah jika hidup seperti dipenjara, apalagi dipaksa makan makanan yang tak enak.

kelihatannya aku egois? ya, memang aku adalah orang egois

aku merasakan rasa terbakar, luka, dan hilangnya rasa cintaku akan dunia karena sekolah itu

aku bisa merasakannya, bahwa perlahan-lahan tubuh ini semata hanyalah daging yang bergerak menurut perintah
aku jadi robot
jujur, aku tidak kuat dengan semua ini
aku capek, lelah

ingin pindah, tetapi tidak bisa

seandainya dulu aku masuk SMK saja, aku akan mempunyai skill kerja sendiri, dilatih secara praktek lebih penting buatku, kenapa? kenapa orang tuaku harus memasukanku ke SMA hanya karena mereka ingin aku kuliah? aku bisa kuliah walau ikut SMK, lagipula jurusan yang akan kumasuki adalah Sastra, demi tuhan, apa bedanya SMA dan SMK jika jurusan nanti yang dipilih adalah SASTRA?


aku memang egois, aku menumpahkan kesalahan pada orang tuaku, padahal aku tahu, kesalahan mungkin berasal dari diriku sendiri, kesalahan yang berawal dari sifat dasarku sebagai penulis blog ini, lagipula apa-apaan nama blog ini? jujur saya sendiri meludah ketika melihat post tentang nama blog ini, Everyday Menu karena saya mengambil makna dari tiap hari, jujur yang saya dapat tiap hari hanya makna sampah seperti tahi ayam

intinya dari post ini, adalah penulis menuangkan rasa kecewanya pada dunia dengan kata-kata berbelit dan berlebihan, ungkapan tak bermakna, kata-kata penuh cela pada dunia, setan bangsat yang baru keluar dari neraka.

rasanya pengen cepet-cepet cabut, tapi seperti kata orang

mati segan, hidup tak pantas.